Rabu, 08 Maret 2017

Cerpen cinta Islami

                         Dalam Sabar   
           ( Karya : Sintiya Dwi Yuniati )

Progdi Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, Universitas PGRI Semarang.

     Sejauh mata memandang hamparan hijau berada di pelupuk mata. Rasanya sejuk sekali bisa melihat dan merasakan asrinya taman kota. Meski masih di kota tapi di sini masih bisa menikmati udara segar yang orang lain belum tentu bisa menikmatinya. Namanya Mila dan dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas 2. Ia adalah anak yang ceria dan selalu menggunakan jilbabnya dalam keseharian. Mila orang Jawa asli. Ibunya asli Semarang dan bapaknya asli Jogyakarta. Tetapi semenjak ibunya meninggal 4 tahun yang lalu Mila tidak lagi tinggal bersama bapaknya di Jogja. Sekarang ia tinggal bersama kakak sepupunya teh Niar yang sudah bersuami A' Didi di Bandung. Bapaknya tidak mau kalau Mila menjadi anak yang kurang pendidikannya. Dan ia menitipkannya kepada adik dari almarhum istrinya. Mungkin karena teh Niar adalah seorang guru, sehingga bapaknya percaya kalau teh Niar bisa mendidiknya. Kring... kring... . Tiba-tiba suara handphone mengejutkan Mila. Dia langsung menggapai tasnya yang berada di ujung kakinya. Ternyata bunyi telepon itu sebuah panggilan dari teh Niar. Ternyata teh Niar menelepon Mila meminta agar dibelikannya rujak. Teh Niar memang baru saja menikah, dan kini ia tengah hamil muda. Mila merasa kalau anak yang dikandung teh Niar adalah adik kandungnya sehingga dia rela panas-panasan hanya untuk mencari rujak.
     Kini Niar kembali ke rumah untuk pulang sekaligus membawakan titipan rujak untuk teh Niar. Dalam perjalanan ia bertemu dengan teman sekelasnya, Rina yang sebenarnya tidak terlalu akrab dengannya di kelas. Rina diboncengkan oleh seorang pemuda putih bersih dengan tinggi 170-an. Muka pemuda itu kalem tak seperti pemuda-pemuda nakal. Mila langsung bertanya dalam hati, siapa pemuda yang memboncengkan Rina. "Mila, kamu darimana saja? Kenapa masih berpakaian seragam dan di sini?" Sapa Rina sambil menarik lengan baju laki-laki yang memboncengkannya sebagai tanda agar ia menghentikan motornya. "Aku baru saja dari taman kota Rin, dan membelikan rujak buat kakakku. Kamu sendiri?" Jawab Mila sembari mendekat selangkah pada Rina. "Aku baru saja dari toko buku Mil" jawab Rina. "Oh, ya? Waah lain kali ajaklah aku Rin ke toko buku" Mila mencoba merajuk kepada Rina. "Baiklah Mil, lain kali kita kesana bersama. Kamu tidak memakai angkutan Mil?" Tanya Rina mencoba memastikan. "Rumahku sudah dekat dari sini" jawab Mila. "Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Mil, kamu hati-hati di jalan" Rina pamit diri sembari melambaikan tangan kepada Mila dan motor pun melaju. Mila pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang. Dengan plastik berisi rujak yang di belinya tadi ia terus berpikir dalam hati. Kenapa Rina tadi tak memperkenalkan pemuda yang memboncengkannya kepadanya. Apakah dia benar-benar pacar Rina, ataukah hanya saudaranya? Hatinya bergejolak pertanyaan penasaran tentang siapa pemuda itu. Namun ia tersadar dan langsung memukul kepalanya dengan tangan kirinya. "Apa yang aku pikirkan? Kenapa harus Rina memperkenalkan pemuda itu kepadaku? Lagipula siapa aku ini? Apa urusannya denganku? Bodohnya aku", gerutu Mila pada dirinya sendiri seperti marah tak terima apa yang dipikirkannya. Karena lamunannya ia melewatkan belokan rumah yang seharusnya ia lewati. Dengan muka malu-malu ia putar balik dan mencoba memasang muka tenang. Dengan laju sedikit tergesa-gesa ia melanjutkan perjalanan pulang.
     Keesokan hari di sekolah. Siswa-siswi kesana-kemari dengan kesibukkannya. Ada yang membawa buku pelajaran, jajanan kantin, bahkan ada sekelompok siswa yang sedang memindahkan peralatan band. Mungkin mereka adalah aktivis musik di sekolah tersebut. Mila masih terlihat duduk di bangku kelas. Disebelahnya ada Pipit yang merupakan teman dekatnya semenjak ia pindah ke Bandung.Mereka tengah mendiskusikan tentang mata pelajaran matematika yang baru saja mereka dapatkan hari itu. Mila memang tipe anak yang tak suka bergaul kesana kemari. Ia lebih suka bergaul dengan apa yang menurutnya bermanfaat. Namun ia sadar, kadang hal itu membuatnya tertinggal informasi. Ketika Mila menjelaskan materi, ia melihat Rina masuk ke dalam kelas. Tiba-tiba ia teringat pemuda yang memboncengkan Rina. Rasanya ingin sekali ia menanyakan kepada Rina siapa pemuda itu. Tetapi apa alasannya untuk menanyakan siapa pemuda itu. Pastilah Rina berpikir kalau dirinya menyukai pemuda itu. Dan ia tidak mau kesalahpahaman itu terjadi. Di tengah lamunannya Mila terkaget dengan sesuatu yang menyentuh pundaknya. Ia pun tersadar dan menoleh ke arah samping. Ternyata Rina sudah ada di sebelahnya dan langsung menyapa. "Mil, kamu sibuk, ya?", tanya Rina sambil ia melepaskan tangannya dari pundak Mila. "Oh, aku tidak sibuk Rin, kenapa?", Mila balik bertanya. "Aku berencana ke toko buku hari minggu. Kemarin kamu bilang kalau kamu ingin ke toko buku", jawab Rina. "Oh, baiklah Rin, aku ikut. Kebetulan harus ada buku yang aku cari", jelas Mila. Akhirnya Rina kembali ke bangkunya. Mata mila masih saja mengikuti arah Rina kembali. Hatinya bergejolak. Ia bingung sendiri mengapa ia begitu penasaran dengan pemuda itu. Yang ia rasakan ini adalah pertama kalinya ia ingin sekali mengetahui tentang seorang laki-laki. Namun gejolak hatinya tak mampu membuat dirinya berani untuk menanyakan tentang pemuda yang memboncengka Rina kemarin. Astaghfirullah haladzim. Ia beristighfar dalam hati. Sadar bahwa hal yang dipikirkannya sudah tidak benar. Mila pun mengalihkan perhatiannya pada diskusi matematika yangvsebelumnya menyibukkannya dengan teman sebangkunya.
     Sesampainya di rumah Mila telah membersihkan diri. Ia baru saja menunaikan kewajiban shalat dzuhurnya. Baru 2 meter meninggalkan daun pintu kamarnya teh Niar memanggilnya dari dalam ruang keluarga yang berada tepat di depan kamarnya. Mila menghampiri kakak sepupunya itu. "Iya teh?", tanya Mila dan ia langsung duduk di dekat teh Niar siap-siap barangkali ada suatu hal serius yang akan ditanyakan. "Tidak ada apa-apa Mil. Kamu ini seperti di panggil gurumu saja, langsung menanyakan ada apa", teh Niar meringis dan mencoba menggoda Mila yang terlihat tegang ketika ia memanggilnya. "He...he... saya kira ada apa teh", Mila menimpal dengan tersenyum malu. "Oya, Putri besok pulang. Kamu sudah tahu Mil?", Tanya teh Niar. "Iya teh, kemarin teh Putri sms saya. Katanya teh Putri Kamis sore sampai di stasiun. Malah saya di suruh jemput teh. Niatnya malam nanti saya akan membicarakannya dengan teteh", jawab Mila panjang mencoba menjelaskan. "Kalau kamu bersedia menjemput ya silahkan. Tetapi kalau kamu sibuk, tidak usah Mil. Sebenarnya A' Didi yang harus menjemput Putri. Tapi A' Didi masih sebulan lagi pulangnya", timpal teh Niar sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membesar. "InsyaAllah ada waktu teh. Niatnya setelah pulang sekolah saya langsung ke stasiun. Bagaimana teh?", Mila meminta pendapat pada teh Niar. "Terserah kamu saja Mil, yang penting jangan lupa makan", teh Niar begitu perhatian pada Mila. Ia sudah menganggap Mila adalah adik kandungnya. Dulu ketika keluarganya mendapat musibah kebakaran rumah, orang tua Mila lah yang menyelamatkan mereka. Karena itulah teh Niar merasa bahwa ia mempunyai utang budi pada keluarga Mila. Namun teh Niar tidak mempedulikan itu utang budi atau bukan. Ia benar-benar ingin membantu keluarga Mila. Mereka sudah seperti keluarga kandung. Mungkin banyak orang yang mengira bahwa mereka adalah benar-benar keluarga kandung. Dalam memperkenalkan anggota keluarga pun, mereka tidak pernah menambahi embel embel bahwa mereka sepupu atau anak dari saudara. Mereka selalu memperkenalkan anggota keluarga dengan kakak atau adik. Itulah sebabnya Mila menjadi betah dan merasa bahwa keluarga teh Niar sangat terbuka sekali. Dan Mila merasa beruntung menjadi bagian dari keluarga itu.
     Sudah seperempat jam Mila sampai di stasiun. Sebelumnya ia langsung masuk ke dalam minimarket untuk membeli minuman ringan dan sedikit cemilan. Ia yakin pasti ia harus menunggu beberapa waktu sampai kereta yang dinaiki teh Putri sampai. Akhirnya Mila memilih tempat duduk di paling ujung tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar. Jaga-jaga bila ia tidak konsentrasi dalam menunggu dan berharap teh Putri bisa melihatnya. Di sana ia mengamati keadaan satu per satu. Ini adalah hal yang jarang ia lakukan. Selama di bandung ia hanya pernah ke stasiun sekali ketika mengantar suami teh Niar berangkat tugas ke Jakarta. Dan itu pun hanya sebentar karena keberangkatan kereta sangat mepet pada waktu itu. Banyak sekali kedatangan dari luar kota. Bahkan ia mendengar beberapa ibu-ibu berbicara bahasa Jawa khas Jogja. Seketika ia teringat bapaknya. Seminggu yang lalu ia menelepon bapaknya dan Alhamdulillah dalam keadaan sehat. Ia bersyukur mempunyai orang tua satu-satunya yang sangat bertanggung jawab. Rasanya ingin sekali merasakan suasana Jogja yang asri dan lemah lembut orangnya. Ia menjadi teringat akan semua tentang Jogja. Mila masih saja memperhatikan orang lalu lalang, sampai ia sadar bahwa waktu sudah menunjukan kedatangan kereta. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan suara pengeras di stasiun yang mengumumkan kedatangan kereta dari Jakarta menggema. Ia tepat. Dan langsung menuju ke arah pintu keluar. Di depan pintu keluar banyak sekali orang-orang yang baru saja datang menggunakan kereta yang sama dengan teh Putri. Ada yang membawa koper besar, koper kecil bahakan hanya membawa tas kecil. Ia masih mengamati orang-orang tersebut. Akhirnya setelah 10 menit menunggu teh Putri muncul dengan jilbab birunya yang lebar khas teh Putri. Mila langsung memanggil dan melambaikan tangannya pada teh Putri. "teh!", Mila tersenyum pada teh Putri. "Mil, ya Allah aku kangen sekali", teh Putri langsung memeluk Mila dengan haru. Setelah melepaskan pelukan rindunya mereka berdua menjauhi kerumunan ramai agar lebih leluasa. Mila langsung membawakan tas teh Putri. "Bagaimana teh perjalanannya?", Mila langsung menyodori pertanyaan. "Lumayan Mil, sedikit melelahkan. Tapi nikmat rasanya bisa pulang kampung", teh Putri menjawab dengan nada bahagia. "Terus bagaimana teh kerjanya?", Mila terus menyodori pertanyaan pada teh Putri. Padahal mereka baru berpisah selama sebulan. Tetapi bagi mereka perpisahan ini seperti perpisahan sementara yang lama. Mereka pun terus saling berbincang, saling bertanya jawab. Mereka menuju rumah makan di dekat stasiun. Namun ditengah perjalanan perhatian Mila teralihkan. Ia melihat pemuda yang memboncengkan temannya Rina di stasiun. Pemuda itu memakai jeans dan kemeja panjang. Ia membawa tas ransel yang isinya terlihat sedikit banyak layaknya akan bepergian. Mila terus saja memperhatikan pemuda itu sampai ia melewatinya. Bahkan Mila berhenti sejenak dan sempat tertinggal oleh teh Putri. Teh Putri tersadar bahwa Mila berhenti di belakangnya. Kemudian ia menghampiri Mila sambil menepuk lengan Mila. "Mil, kenapa berhenti? Kamu melihat siapa?", tanya teh Putri penasaran. "E...e... itu teh", Mila menjadi gagap. "Siapa Mil? Pemuda yang memakai kemeja itu? Siapa dia?", teh Putri mulai penasaran. "Sudahlah teh, nanti saya ceritakan di tempat makan saja. Ayok teh kita lanjut", Mila beranjak pergi sambil membawa tas jinjing biru tua milik teh Putri yang tak begitu berat. Dalam perjalanannya Mila terus berpikir, kenapa ia harus bertemu lagi. Dan kenapa ia harus terus memikirkannya. Teh Putri diam selama perjalanan. Ia juga malah menjadi bingung. Sesekali ia melihati wajah Mila yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
     Akhirnya sampailah mereka di rumah makan yang cukup luas dekat stasiun. Mereka memilih tempat di sebelah kanan ruangan itu dekat dengan jendela. Teh Putri langsung memesan makanan kepada pelayan rumah makan. Disela-sela waktu menunggu pesanan makanan datang teh Putri langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi tadi. "Mil, tadi itu siapa? Pacarmu?", sodor teh Putri tak sabar. "Bukan, bukan teh. Bahkan saya tidak mengenalnya sama sekali", jawab Mila. "Lalu kenapa kamu melihatinya Mil, sampai-sampai kamu seperti patung tadi?", teh Putri terus menggali informasi. "Begini teh. Kemarin waktu saya perjalanan pulang sehabis membeli rujak untuk teh Niar saya bertemu teman kelas saya. Dia diboncengkan motor sama seorang pemuda. Dan pemuda itu adalah pemuda yang tadi di stasiun teh. Semenjak itu teh, saya terus kepikiran, penasaran dengan pemuda itu. Tapi saya malu untuk bertanya dengan teman saya teh. Saya juga bingung teh, kenapa saya jadi begini. Ini pertama kalinya saya kepikiran orang teh. Bagaimana menurut teteh?", jelas Mila panjang lebar. "ooh, he...he..., mungkin kamu sedang jatuh cinta Mil", jawab teh Putri sembari meledek Mila. "Ah, yang benar teh. Masa aku jatuh cinta sama orang yang belum aku kenal", jawab Mila mengerutkan dahinya. "Allah maha membolak-balikan hati. Mungkin saja kamu sedang diberi rasa cinta sama Allah dengan pemuda itu. Tapi ingat Mil, jadikan rasa itu sebagai alat untuk kamu mendekatkan diri kepada Allah. Jangan malah sebaliknya", teh Putri menjawab dengan bijak.
     Suasana sekolah begitu ramai. Hari senin merupakan hari yang mungkin tak banyak siswa menyukainya, tetapi mereka tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang siswa yang teladan. Kantin adalah tempat yang tak pernah sepi diantara tempat-tempat yang lain. Banyak siwsa-siswa bermumpul di kantin tersebut. Mulai dari yang hanya sekedar makan, nongkrong-nongkrong, ada yang berdiskusi dan ada yang mampir-mampir sebentar. Mila terlihat duduk diantara mereka-mereka yang ada di kantin. Kali ini sedikit berbeda. Mila terlihat akrab dengan Rina. Mereka berdua duduk bersampingan. Mila terlihat serius di samping Rina. "Rin, aku mau menanyakan sesuatu kepadamu?", Mila membuka pembicaraan. "Tanya apa Mil?", Rina balik bertanya, dan ia terlihat serius. "Kamu masih ingat, ketika kita bertemu di jalan dan kamu diboncengkan laki-laki memakai motor? Laki-laki itu pacarmu Rin?", suara Mila sedikit bergetar ketika menanyakan hal itu. "Oh, itu kakakku Mil. Namanya Handi. Lengkapnya Muhammad Handi. Kamu salah sangka", Rina menjawab santai. "Oh, Kakakmu Rin. Maaf aku kira itu pacarmu", Mila sedikit memalu. "Iya Mil, tidak apa-apa. Di keluargaku tidak mengenal pacaran. Kamu tahu sendiri kan dalam islam tidak ada yang namanya pacaran?", jawab Rina sambil menerangkan. "Iya Rin, aku paham", Mila membalas senyum pada Rina yang terlihat santai dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Kini suasana menjadi cair. Mila dan Rina kini mulai akrab satu sama lain. Dan hal ini membuat Mila tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut mengenai Handi. Namun Mila tidak mau kalau Rina sampai tahu kalau dirinya sedang penasaran dengan kakaknya itu. Ia tak mau kalau Rina menganggapnya hanya untuk memanfaatkannya saja. Ia murni untuk menambah teman. Hanya saja kali ini berbeda cerita. Pikir Mila dalam hatinya.
     Hari demi hari Mila lalui dengan syukur. Syukur atas segala yang telah diberikan kepada dirinya selama ini. Keluarga yang terbuka, saudara yang sangat perhatian padanya, dan sang ayah yang tetap bertanggung jawab meskipun harus jauh darinya. Setelah kelulusan SMA 5 tahun yang lalu kini Mila menjadi seorang penulis. Ia sangat berbakat dalam menulis semenjak sekolah dasar. Bakat itu ia dapatkan dari almarhumah ibunya. Bukan karena ibunya juga pintar menulis melainkan karena ketekunannya mengajari Mila dalam menulis. Semakin hari semakin ia merindukan bapakknya yang ada di Jogja. Ia ingin sekali berkunjung ke sana. Menikmati pemandangan Jogja adalah impian kecilnya saat ini. Ia sudah merencanakan akan menulis dengan latar belakang suasana Jogja. Pastilah hasilnya bisa memuaskan dan mungkin saja banyak sekali pembaca yang akan penasaran dengan bukunya. Maklumlah, kini banyak remaja-remaja yang ingin mampir untuk menikmati suasana Jogja yang sangat alami itu. Akhirnya Mila pun berencana untuk ke Jogja akhir bulan ini. Ketika Mila sedang asyik melamun tentang rencananya mengunjungi bapaknya di Jogja, ia teringat seseorang. Seseorang itu adalah Handi. Ia teringat ketika masih duduk di bangku SMA. Ia mengutarakan perasaannya pada Handi. Namun dengan halus Handi menolaknya. Dengan alasan ia belum siap untuk menikah, padahal Mila tidak meminta untuk dinikahi. Mila sadar bahwa dalam keluarga Handi tidak mengenal pacaran. Mereka sangat menjunjung tinggi prinsip itu. Dan Rina pun telah memberitahunya. Namun entah setan apa yang merasukinya. Ia begitu lancar ketika mengutarakan isi hatinya. Semenjak itu, ia sangat malu pada dirinya sendiri dan Rina adik Handi. Ia malu kalau-kalau Rina tahu bahwa ia menaruh hati pada Handi dan telah menyatakan perasaannya. Ia tak mau Rina salah paham. Tempat ceritanya pun hanya teh Putri. Awalnya teh putri pun kaget mendengar cerita Mila bahwa ia menyatakan perasaannya pada Handi. Ia sedikit marah pada saat itu. Namun teh Putri tetap menasihati Mila dan akhirnya Mila sadar dengan kesalahannya. Kini Mila menjadi wanita penuh prinsip. Ia tak mau menjalin hubungan tanpa status pernikahan. Kini Mila hijrah. Kini ia terlihat anggun dengan jilbab yang lebar. Senyum ramahnya yang khas selalu menyungging di bibirnya. Kini banyak sekali pemuda-pemuda yang bukan hanya ingin memacarinya. Namun banyak yang berniatan untuk mengkhitbahnya. Mila kini menjadi primadona. Namun dari sekian banyak lelaki yang datang masih saja belum ada yang pas di hatinya. Total ia menolak khitbah 3 kali. Bukan menyombong. Mila tidak ingin salah dalam mencari pasangan hidup. Ia belajar dari pengalaman-pengalaman sahabatnya. Apalagi hidup di zaman modern yang penuh fitnah seperti ini membuatnya was-was bila ia tidak berhati-hati dalam memilih pasangan.
     Akhir bulan tiba. Waktu yang Mila tunggu telah datang. Berkunjung ke Jogja. Kali ini ia menggunakan kereta. Dalam perjalanannya bibirnya basah akan dzikir-dzikir. Pikirannya kemana-mana. Ia takut bila dalam perjalanannya kali ini akan terjadi sesuatu yang tak diinginkannya. Ia bukan takut mati. Tetapi ia takut meninggalkan dunia namun belum sempat bertemu dengan bapaknya. Ia teringat ibunya. Dalam hatinya bertanya. Mengapa Allah begitu cepat mengambil ibunya dari ia dan bapaknya. Ia merasa kalau ibunya masih ada pasti ia tak akan jauh dari bapaknya. Dan bapaknya tidak akan kesepian di Jogja sendiri. Namun hatinya kembali sadar. Ia mengucap istighfar. Ini adalah pikiran setan, pikirnya. Ketentuan Allah lah yang terbaik. Pikirannya mulai teralihkan dengan datangnya pramugari yang datang melewati lorong kereta menawari makanan. Salah satu dari pramugari itu memakai jilbab. Wajahnya putih mulus dengan lipstik merah merona di bibir. Seketika Mila melihat, hatinya berbisik kalau pramugari itu cantik dan menawan. Pastilah banyak laki-laki yang menyukainya dan mungkin banyak yang mengkhitbahnya. Mila tersadar kembali. Ia mengucap istighfar. Pikiran-pikiran negatif lah yang membuat ia kurang bersyukur. Hingga pramugari kereta itu sampai di gerbong selanjutnya Mila masih beristighfar. Ia takut terhanyut dengan pikiran-pikiran yang membuatnya tak lagi bersyukur dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Akhirnya Mila sampai di stasiun Tugu Jogjakarta. Ah, rasanya senang sekali bisa menghirup udara Jogja kembali setelah hampir 8 bulan ia berkecimpung dengan udara Bandung. Ia pun langsung mencari taksi untuk menuju rumahnya, dan yang pasti menemui bapaknya.
     Sesampainya di rumah ia langsung disambut oleh bapaknya. Ia memang sudah menghubungi bapaknya sebelum berangkat ke Jogja. Tak lupa ia mencium tangan bapaknya. Rasanya luar biasa sekali bisa mencium bau tubuh bapaknya. Ia langsung masuk ke dalam rumahnya. Ia melihat sekeliling dalam rumah. Tampak sama. Tidak ada yang berbeda. Kursi tua yang ada semenjak ia SD tak pernah pindah dari tempatnya. Ia langsung menuju dapur sederhana yang ukurannya hanya dua kali dua meter. Mila langsung membuat dua cangkir teh satu untuk dirinya dan satu lagi untuk bapaknya. Ia ingin melepas rindu pada ayahnya dengan suasana santai ditemani segelas teh. Baginya hal tersebut adalah yang paling ia rindukan. Mila juga berniatan untuk bercerita ini itu pada bapaknya. Dari dalam dapur Mila membawa dua cangkir teh dengan nampan hijau peninggalan ibunya yang terlihat memudar warnanya namun masih kuat untuk menopang beberapa gelas berisi air. Bapak ternyata sudah menunggu di teras. Mila pun menghampiri sambil memindahkan gelas ke meja kecil tepat di antara dua kursi depan teras. "Pak, ini tehnya. Ayok diminum. Kangen tho, sama teh buatan Mila?", Mila sedikit meledek bapaknya. "Kamu ini nduk, masih seperti dulu. Suka percaya diri", bapak menimpal dengan cepat. "Bagus tho pak. Itu juga yang membuat Mila bisa seperti ini", Mila mulai percaya diri. "Iya nduk, kamu benar. Tapi ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik", jawab bapak sambil menasihati. "Alhamdulillah pak, Mila insyaAllah bisa jaga. Doakan saja agar Mila bisa tetap rendah hati", Mila melempar senyum kepada bapaknya. "Oya, seminggu yang lalu Pipit teman SDmu menikah nduk. Kamu kapan menyusul?", tiba-tiba bapak melempar pertanyaan yang membuat hati Mila berdegub kencang. Ia kaget dan tergagap seketika. Selang beberapa menit Mila mulai membuka mulutnya. "Yang namanya rezeki, jodoh di tangan Allah pak. Bapak ndak usah khawatir. InsyaAllah nanti ada waktunya pak", Mila menjawab dengan tenang. "Iya nduk, tapi jangan lupa ikhtiar. Bapak ini sudah tua. Tidak mungkin bapak selalu menitipkan kamu pada teh Niar", jawab bapak sambil meniup tehnya. Baru kali ini ia merasakan kesepian bapaknya. Belum pernah bapaknya mengajak berdiskusi dengan seserius itu. Mila merasa kasihan tetapi ia juga merasa takut. Selama ini ia selalu menolak khitbahan dari orang, namun di sisi lain bapaknya begitu menginginkan dirinya untuk menikah.
     Sudah tiga hari Mila berada di Jogja. Ia seperti kembali mengenang masa kecilnya. Tiga hari menikmati udara pagi Jogja baginya adalah sebuah terapi bagi dirinya. Terapi untuk otaknya yang ia gunakan untuk mencari ide untuk menulis. Tiba-tiba ia menemukan ide di teras depan. Ia langsung mengambil leptop kesayangannya. Langsung dibukanya. Dia mengetik sesuatu. Satu jam berlalu tiba-tiba handphonenya berdering tanda sms masuk. Itu dari teh Putri. "Assalamu'alaikum warahmatullah, Mil bagaimana kabarmu dan bapakmu. Semoga kalian selalu diberikan rahmat oleh Allah SWT. Mil semalam Teh Niar menyampaikan sesuatu padaku. Dua hari yang lalu ada tamu datang ke rumah. Namanya Rizky. Katanya dia menanyakan apakah kamu sudah ada yang mengkhitbah atau belum. Dia berniatan mengkhitbahmu Mil. Teh Niar menyuruhku menyampaikan hal ini padamu. InsyaAllah 2 hari lagi dia akan datang ke rumah bertepatan kamu pulang. Wassalamu'alaikum", seketika Mila meneteskan air mata. Ia langsung terpikir oleh kata-kata ayahnya yang menyuruhnya untuk berikhtiar mencari jodoh. Mungkinkah ini semua jawaban atas keinginan ayahnya. Sungguh Allah maha besar. Namun sekelebat pikiran mampir di otaknya. Siapa itu Rizky? Rasanya ia tak pernah mengenal orang yang bernama Rizky. Setahunya orang yang ia kenal bernama Rizky adalah teman SMPnya. Namun apakah mungkin ia adalah Rizky yang dipikirkannya. Mila terus memutar otaknya. Mencoba mengingat apakah ada orang lain yang bernama Rizky yang pernah ia kenal. Lalu siapa dia? Mila terus melamun. Tiba-tiba bapaknya menepuk punggungnya dari belakang. Mila terkaget. Bapaknya heran. "Bapak ini mengagetkan", ucap Mila seketika. "Kamu kaget nduk. Masih pagi kok sudah melamun tho?", Bapak terheran dan langsung menempatkan diri di kursi sebelahnya. "Ini pak, teh Putri sms Mila. Katanya dua hari yang lalu ada orang bertamu namanya Rizky. Dia berniatan mengkhitbah Mila pak. Dua hari lagi dia akan datang ke rumah teh Niar untuk menanyakan hal tersebut sama Mila pak", Mila tak berpikir panjang untuk menceritakan apa yang menjadi bahan lamunannya tadi. "MasyaAllah, benar nduk? Allah memang maha penyayang. Allah telah mengabulkan doa bapak. Lebih baik kamu bersiap-siap mengemasi barang-barangmu. Besok pagi kamu pulanglah ke Bandung", bapaknya begitu semangat sampai nada suaranya hampir meninggi dan membuat orang lain bisa mendengarnya. "Bapak ini, jadwal pulang Mila kan masih 2 hari lagi pak", Mila memprotes jawaban bapaknya. "Nduk, yang namanya jodoh itu harus di ikhtiarkan. Jangan membantah. Bersiaplah kamu di sana. Mungkin saja dia adalah jodohmu. Bapak akan mendoakan kamu dari sini", jawab bapak dengan pelan kali ini. "Kalau bapak bahagia insyaAllah Mila bahagia pak. InsyaAllah besok Mila akan pulang ke Badung", Mila tak bisa mengelak. Ia tak sanggup melihat semangat bapaknya patah hanya karena ia tak ingin cepat pulang.
     Mila mencium tangan bapaknya. Ia meminta izin meninggalkan Jogja. Sebenarnya Mila belum ingin pulang ke Bandung. Ia masih ingin merasakan suasana Jogja. Baru saja ia mendapatkan ide menulis tetapi harus ia tinggalkan terlebih dahulu. Iya sadar bahwa ada hal yang lebih penting bukan hanya bagi dirinya namun bagi bapaknya juga. Mila mulai membalikkan badannya dan meninggalkan bapaknya yang berdiri diantara keramaian stasiun. Tubuh tuanya membuat Mila tak tega meninggalkannya sendiri. Mila meneteskan air mata. Entah kenapa kali ini ia sangat tak ingin berpisah dengan bapaknya. Ia jadi teringat pesan bapaknya. "Jagalah diri kamu Nduk, bapak akan selalu mendoakan kamu", Mila terngiang akan kata-kata itu. Akhirnya Mila mulai memasuki gerbong kereta. Ia masih saja melihat keluar melalui jendela dan matanya mencari-cari bapaknya. Tak lama kemudian kereta berjalan dengan padunya. Tak lupa Mila memanjatkan doa.
    Sampailah Mila di stasiun Bandung. Syukur Alhamdulillah ia mengucap dalam hati. Mila pun langsung menuju rumah teh Niar. Dalam perjalanannya ia terus memikirkan tentang rencana khitbahannya. Rizky nama yang selalu di otaknya. Ia sangat penasaran. Ketika sampai di depan rumah ia mencoba menenangkan diri. Jangan sampai teh Niar dan teh Putri melihat kegugupannya. Pikirnya saat itu. Tiba-tiba suami teh Niar keluar dari rumah dan melihat Mila berdiri di depan pintu. "Loh Mila, kamu sudah pulang? Bukannya rencananya besok Mil?", A Didi langsung menyodori pertanyaan. "I...iya A, rencananya besok, tapi ada hal yang harus Mila urus di sini. Jadi Mila pulang lebih awal", jawab Mila gugup. Mila sedikit malu untuk mengakui kalau sebenarnya ia pulang untuk mengurus rencana khitbah yang di tanyakan oleh Rizky. Entah A Didi mengetahuinya atau tidak. Tetapi Mila yakin kalau A Didi sudah mengetahuinya. A Didi pun mengangkat barang yang dibawa oleh Mila masuk ke dalam rumah. Mila mengikuti dari belakang. Ternyata teh Niar dan teh Putri sudah duduk di ruang keluarga. Mila langsung menghampiri mereka. Dan mencium tangan mereka sebagai tanda hormat. "Loh Mil, kok sudah pulang?", tanya teh Niar. "Iya teh, besok kan hari libur jadi takut kehabisan tiket. Sekalian ada hal yang harus Mila bicarakan dengan teh Niar", Mila mencoba bermain alasan. Ia langsung duduk di sebelah teh Niar. "Oya, Mil, teteh mau bebicara sesuatu sama kamu. Tapi sebelumnya teh Niar minta kamu yang tabah", teh Niar langsung memulai pembicaraan serius. "Dua hari yang lalu, ada laki-laki datang ke rumah. Namanya Rizky, lengkapnya Muhammad Rizky. Ia menyampaikan amanah pada teteh kalau ia ingin mengkhitbahmu. Kemudian teteh minta Putri untuk menyampaikan kepada kamu. Teteh tahu dia orangnya baik. Kebetulan Putri satu kantor dengan Rizky. Tapi Rizky tahu kamu bukan dari Putri. Dia tahu dari saudaranya. Namanya Handi. Katanya dia mengenalmu dengan baik Mil. Teteh senang sekali ada laki-laki yang berniat baik ingin mengkhitbahmu. Tapi baru tadi pagi teteh mendapat kabar. Katanya ketika Rizky menuju tempat kerjanya, dia kecelakaan. Dan dia meninggal di tempat Mil. Maafkan teteh Mil harus menyampaikan hal ini", jelas panjang lebar teh Niar pada Mila. "Innalillahi wainilihi rajiun...", Mila langsung meneteskan air matanya. Kenapa semua ini harus terjadi. Padahal ia sudah memikirkan tentang khitbahan yang di ajukan oleh Rizky. Pikirannya buyar. Mila tak bisa berkata apa-apa. Ia diam seribu bahasa. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Air matanya mengalir pelan di pipinya. Teh Niar, teh Putri, dan A Didi hanya diam. Teh Niar langsung merangkul Mila setelahnya. Tangis Mila mulai terdengar. "Kenapa teh, disaat Mila merasa sudah siap Allah merencanakan ini semua. Apa ini akibat Mila yang menolak khitbahan sebelumnya?", Mila sesenggukan. "Istighfar Mil. Ini rencana Allah. Tidak ada hubungannya dengan yang lalu", teh Niar mencoba menenangkan Mila. "Benar Mil, jangan pernah menyalahkan takdir. Ini semua ketentuan Allah", lanjut teh Putri. "Benar Mil, apa kata teh Niar dan Putri tadi. Kamu harus tabah. Sekarang sebaiknya kita bersiap untuk takziyah", A Didi menambahi.
     Sampailah mereka di rumah almarhum Rizky. Banyak orang di sana. Ada yang sedang mempersiapkan peralatan untuk pemakaman, dan ada yang menhibur keluarga yang berduka dengan dukungan moril. A Didi di depan dan masuk terlebih dahulu. Setelah itu Ibu ibunda Rizky keluar. A Didi yang berada di samping ibunda Rizky langsung menyampaikan bahwa Mila adalah perempuan yang akan di khitbah oleh Rizky. Ibunya tak kuasa mengenang itu. Ia langsung menuju Mila. Mila mencium tangan ibunda Rizky. Ia langsung dirangkul oleh ibunda Rizky. "Do'akan almarhum nak, agar segala amalnya diterima oleh Allah", tangis ibunda Rizky pecah di pelukan Mila. "Ibu yang tabah. InsyaAllah Rizky orang yang baik bu", Mila mencoba memberi semangat pada ibu Rizky. Setelah takziyah selesai akhirnya Mila dan rombongan pamit undur diri. Dalam perjalanan pulang, Mila masih terharu. Entah kenapa ia begitu sedih. Padahal ia belum pernah bertemu dengan sosok almarhum Rizky. Ia jadi teringat kalau teh Putri adalah teman sekantornya. Ia langsung meminta teh Putri untuk menunjukan siapa itu Rizky. Ketika teh Putri menunjukan foto Rizky, ia kaget. Rizky adalah orang yang pernah membantunya dulu ketika ia pernah kecelakaan. Ia begitu sedih. Namun dalam hatinya tetap bertasbih pada Allah. Ini ketentuan-Nya.
     6 bulan semenjak Rizky meninggal Mila hidup dengan penuh pasrah. Ia tak hanya memikirkan dirinya namun juga bapaknya. Ia jadi teringat dengan semangat bapaknya ketika mendengar Mila akan di khitbah oleh Rizky. Kini Mila terus menekuni kegiatan menulisnya. Ia selalu berdoa agar keluarga di bandung dan di Jogja selalu diberikan kesehatan oleh Allah.
     Mila tengah bercanda dengan teh Putri dan sepupu kecilnya Hanna yang merupakan anak dari teh Niar dan A Didi. Ia seperti tak mau lagi larut dengan kedukaan. Ia bangkit dan mencoba menatap masa depan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mila yang sedang duduk langsung beranjak dan merapikan jilbabnya. Terdegar salam dari luar. Mila menjawabnya sambil membuka pintu. "Wa'alaikumussalam...", Mila kaget dengan siapa yang ditemuinya di depan pintu. Ternyata Handi. Mila langsung menundukan pandangannya. "Ma...maaf mau mencari siapa?", Mila bertanya dengan gugup. "A Didinya ada?", Handi menjawab lebih tenang. Namun hatinya berdegub kencang. Ini adalah pertemuan yang begitu menguras pikiran baginya. Hatinya berdesir melihat Mila. Namun ia langsung menundukan kepalanya. "Ada. Silahkan masuk. Saya akan panggilkan A Didi", Mila mempersilakan Handi masuk. Ia langsung menuju ke dalam dan mencari keberadaan A Didi. "A, ada Handi saudaranya almarhum Rizky di ruang tamu. Katanya dia mencari A Didi", jelas Mila. "Ooh Handi", jawab A Didi singkat dan langsung menuju ruang tamu. Mila langsung menuju ke dapur untuk membuat minuman. "Assalamu'alaikum A Didi", begitu melihat A Didi keluar, Handi langsung beranjak dari tempat duduknya. Handi tak lupa bersalaman dengan A Didi. "Wa'alaikumussalam, Bagaimana kabarmu Han?", A Didi langsung bertanya dan mengisyaratkan tangan agar Handi duduk kembali. "Alhamdulillah bikhoir A. Bagaimana A Didi dan keluarga?" Jawab Handi. "Alhamdulillah sehat semua. Tumben ini kamu bertamu", jawab A didi. "Saya langsung saja A, karena saya rasa hal ini memang harus segera saya sampaikan. Sebelumnya mohon maaf kalau saya terkesan tergesa-gesa. Dulu ketika A Didi sempat ingin mengenalkan saya dengan Mila sebenarnya saya sudah ada niatan untuk mengkhitbah Mila. Tetapi saya mempunyai sepupu yang menurut saya lebih pantas untuk bersanding dengan Mila, yaitu almarhum Rizky. Namun Allah mempunyai rencana lain. Sperti yang A Didi juga tahu. Beliau harus menghadap Allah mendahului kita. Selama kurang lebih 5 bulan ini saya memikirkan hal ini A. Saya berniat untuk mengkhitbah Mila. Apakah Mila belum ada yang mengkhitbah A?", Handi menjelaskan dengan detil. "MasyaAllah, jadi kamu berniatan mengkhitbah Mila Han? Dulu ketika kamu mengantar Rizky untuk mengkhitbah Mila sebenarnya ada sedikit rasa kecewa dalam hati saya. Kenapa bukan kamu. Tapi saya percaya kalau Rizky adalah orang yang baik akhlknya. Dan sekarang kamu sudah siap sepertinya. Mila belum ada yang mengkhitbah Han. Tetapi saya tidak bisa menjawab boleh atau tidaknya. Tetap Mila yang harus menjawabnya langsung", jawab A Didi dengan bijak. Dari balik korden Mila mendengar semua pembicaraan. Jantungnya berdegup kencang. Orang yang dulu dicintainya dan menolaknya karena ia ajak pacaran malah sekarang ingin mengkhitbahnya. Ia tak percaya. Sampai-sampai ia lupa keluar untuk memberikan minuman untuk A Didi dan Handi. Seketika ia sadar dan keluar dari balik korden. Handi melihat Mila dengan keringat keluar dari jidatnya. Tiba-tiba A Didi menyuruh Mila agar ia duduk di sebelahnya. "Duduklah di sini Mil, ada yang harus ditanyakan padamu", jelas A Didi. Mila menurut dan langsung menempatkan diri. "A Didi langsung saja Mil. Handi kesini karena ada niatan untuk mengkhitbahmu. Kira-kira kapan kamu siap untuk menjawabnya Mil?", A Didi begitu cepat menerangkan niatan Handi. Mila merasa bahwa ini adalah hal yang membuatnya harus berpikir keras. Ia tahu Handi adalah lelaki yang sholeh. Tak ada alasan untuk tidak menerimanya. Tapi Mila takut salah. Namun Mila memantapkan hatinya untuk menjawab. Ia menarik napas panjang dan mengucap bismillah. Ia yakin hal yang baik juga harus disegerakan. "InsyaAllah saya siap untuk dikhitbah oleh A Handi", Mila begitu tegas dalam menjawab. Handi langsung mengusap muka dengan telapak tangannya sebagai tanda syukur sekaligus lega dengan jawaban Mila. A Didi tersenyum bahagi. "Alhamdulillah, A Didi juga sebenarnya setuju kalau kamu dengan Handi. Karena A Didi tahu bagaimana Handi. Dia lelaki yang sholeh InsyaAllah", jelas A Didi lega. "Jadi A Didi dan A Handi sudah saling mengenal?", tanya Mila penasaran. "Alhamdulillah Mil, kami satu majelis", A Didi menjawab dengan senyuman mengarah ke Handi.
    Akhirnya setelah acara khitbah, 2 bulan kemudian Mila dan Handi mengadakan pernikahan. Mereka tak menyangka akan dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan. Mila begitu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ia juga sangat bahagia melihat bapaknya bisa tersenyum lebar di pesta pelaminannya. Sungguh luarbiasa nikmat Allah yang diberikan kepada umatnya. Begitu perasaan Mila.
( selesai ).

Assalamu'alaikum warahmatullah...
Cerpen ini saya buat di sela-sela kegiatan kuliah. Dan saya sangat berharap setelah pembaca membaca cerpen di atas bukan hanya hiburan yang didapat tetapi juga ada nilai moral maupun moril yang bisa diambil dari cerpen tersebut. Semoga cerpen di atas bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Mohon maaf bila ada kata-kata dalam cerpen tersebut yang kurang berkenan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan penulis. 😁
Wassalamu'alaikum warahmatullah...

Fb 👉 Sintiya DY
Ig 👉 sintiyadwi
Twitter 👉 @sintiyady

3 komentar:

  1. insyaaAllah bermanfaat ini cerpen mbaa, terus semangat mbaa sin :)

    BalasHapus
  2. New and trusted online casino: The best US casino bonus codes
    Here is a list of New and trusted online casino: The หารายได้เสริม best US casino 바카라 사이트 bonus codes 인카지노

    BalasHapus