Rabu, 26 April 2017

Cerpen dengan Tema HAM

                               Kembali
                    ( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
              Universitas PGRI Semarang

     Malam ini rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Rasti. Sambil menggigit bibir bawahnya ia seperti orang yang kebingungan. Pensil di tangannya digerakkannya ke sana ke mari tak mengerti maksud dan tujuannya. Kamar berukuran tiga kali empat meter itu seperti tak berpenghuni. Hanya ada detak jarum jam yang berdenting mengikuti waktu yang selalu berjalan tanpa perintah. Kasur dengan sprei warna pink terlihat berantakan penuh dengan bantal, buku, dan boneka minion yang terlihat sudah lusuh. Rasti masih duduk dengan seriusnya tanpa merubah posisinya dari semula. Kertas putih di atas meja di hadapannya masih bersih tanpa coretan. Ia seperti sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk ditulisnya dalam kertas itu. Sinar rembulan yang masuk ke dalam kamar menerobos korden putih seakan menerawang apa yang sedang terjadi dalam kamar tersebut. Sampai jarum jam pendek mengarahkan dirinya menuju angka 9, Rasti tak kunjung pindah dari posisinya. Tiba-tiba suara pesan masuk terdengar dari atas kasur. "Sayang, jaga kesehatanmu. Mama akan selalu merindukanmu dan mendoakan yang terbaik untukmu", pesan itu membuat Rasti berdiri dari duduknya. Sesaat setelah membaca pesan itu, Rasti langsung membaringkan badannya di atas kasurnya. Barang-barang yang masih di atas kasur tak dihiraukannya. Tak pernah terbesit dalam dirinya untuk membalas pesan dari mamanya. Semenjak perceraian orang tuanya, Rasti sedikit berubah dari sikap biasanya. Ia menjadi pendiam. Kini Rasti tinggal bersama ayahnya yang biasa dipanggilnya papah. Namun Rasti tak pernah merasa ia mendapatkan kasih sayang baik dari ayahnya atau pun mamanya.
     Setelah semua tugas kelompok selesai, Rasti dan temannya mulai berkemas meninggalkan sekolah dengan kendaraannya masing-masing. Rasti yang biasanya menunggu jemputan dari supir pribadinya terlihat berdiri di depan gerbang sembari memegang handphone miliknya. "Pak, tidak usah jemput Rasti. Rasti ada acara di luar", ketik Rasti dalam handphone-nya yang ditujukan untuk Pak Joko, supir pribadinya. Pak Joko merupakan supir keluarga ayah Rasti yang sudah bekerja selama 5 tahun. Namun, setelah percerian orang tua Rasti, Pak Joko hanya ditugaskan untuk mengantar jemput Rasti kemana pun ia pergi. Sosok yang sederhana, perhatian, dengan jenggot dan kumis yang tipis membuat Rasti lebih dekat dengan supir pribadinya dibanding dengan ayahnya sendiri. Tak jarang tugas yang seharusnya dilakukan seorang ayah terkadang digantikan oleh Pak Joko.
     Sore itu pengunjung mall begitu ramai. Ibu dengan anak-anaknya kesana kemari. Anak sekolahan berpergian seperti berkelompok. Semua usia seperti presensi hadir dalam gedung tinggi menjulang tersebut. Rasti terlihat berada di lantai 3. Ia duduk di sebelah jendela dengan pemandangan ke arah luar penuh dengan gedung pencakar langit. Jakarta memanglah seperti hutan besi. Pepohonan kini tergantikan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi.
     Setelah hampir 4 menit Rasti melihat-lihat menu, akhirnya ia memesan spageti bolonice dan avocado juice untuk makan sorenya kali ini. Pesanan pun datang dan langsung dilahapnya makanan itu. Semenjak ayahnya menikah dengan wanita lain dan ia memilih tinggal di rumah yang berbeda dengan ayahnya, Rasti merasa bahwa tidak ada makanan yang lebih enak dibanding makanan di luar sana. Meskipun beberapa kali istri baru ayahnya datang untuk memberikan makanan namun Rasti tetap tak bergeming menerima istri baru ayahnya itu. Bahkan sampai sekarang Rasti masih berharap ayah dan mamanya dapat rujuk dan berkumpul dengannya seperti dahulu.
     Waktu menunjukan pukul 17.25. Sebelum meninggalkan kafe tersebut Rasti sempat melihat handphonenya. 18 panggilan tak terjawab dari supir pribadinya membuat ia geram. Bukan karena terganggu. Rasti berpikir kenapa bukan ayahnya yang menelfonnya. Kenapa bukan ayahnya yang mencari-carinya. Raut wajahnya berubah. Ia menekan giginya tanda kecewa. Akhirnya Rasti keluar meninggalkan kafe.
     Kali ini Rasti tak ingin supir pribadinya yang menjemput. Ia sudah kesal dengan apa yang terjadi. Ia kira akan ada seorang ayah yang panik mencarinya. Dugaannya salah. Setelah 5 menit menunggu, akhirnya Rasti memutuskan naik ojek. Ojek tersebut sudah menunggu di seberang jalan. Rasti pun menghampirinya. Tiba-tiba dari arah kanan Rasti, ada sebuah mobil merah berplat B melaju kencang tanpa kendali. Rasti yang kala itu sedang menyeberang langsung tertabrak. Suara keras tabrakan itu membuat semua orang yang berada di sekitar area itu langsung tertuju pada kejadian tersebut. Rasti tergeletak lemah dengan luka gores yang hampir rata di sekitar badannya. Dari pelipisnya keluar darah yang mengalir melewati hidung seperti menangis darah. Tubuhnya tergeletak tak bergerak. Hanya kedipan mata yang masih menampakan tanda kehidupan. Semua orang berkumpul melihati. Namun tak seorang pun berani untuk membopong Rasti. Sampai ambulans datang, Rasti tak mengeluarkan sepatah kata pun.
     Di ruang Melati sebuah rumah sakit, Rasti terbaring lemah dengan penuh perban di sekujur tubuhnya. Di samping ranjangnya ada seorang bertubuh tinggi besar, berkulit putih dan berperawakan orang kantoran sedang menatapi Rasti dengan raut wajah kasihan. Ia adalah ayahnya. Matanya berkaca-kaca sedari tadi. Di luar kamar, seorang perempuan berpenampilan modis yang merupakan istri dari ayah Rasti, bernama Hani. terlihat duduk di samping Pak Joko. "Bagaimana keadaan Rasti, Pah?", tanya Bu Hani pada suaminya sesaat setelah keluar. "Dia harus istirahat lama, Mah. Dokter tadi bilang, kalau kakinya sulit untuk diselamatkan", jawab ayah Rasti dengan nada lemah. "Maksud Papah, kaki Rasti harus diamputasi?", cetus Bu Hana seketika mendengar jawaban suaminya. Pak Ardi, ayah Rasti hanya bisa mengangguk seperti telah pasrah dengan keadaan. Ia tak menyangka anak satu-satunya akan menerima takdir sepahit ini. Dokter mengatakan bila kaki Rasti tak diamputasi, nyawanya bisa terancam. Dan Pak Ardi tak mau kehilangan anaknya. "Apa tidak ada cara lain, Pah, selain amputasi?", Bu Hani mencoba memastikan lagi. Lagi-lagi Pak Ardi menjawabnya dengan gerakan. Ia menggelengkan kepala. Seperti tak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaannya. Bu Hani langsung memeluk suaminya. Ia mencoba menenangkan suaminya itu. Air mata Pak Ardi langsung mengalir pelan di pipinya.
     Tiga bulan setelah operasi, Rasti kini sangat berbeda. Wajah putihnya layu seakan tak punya harapan hidup. Di atas kursi roda Rasti tak pernah menampakan senyumnya. Ia hanya tersenyum seperlunya. Itu pun terlihat tak natural. Setelah operasi, kini ia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Selama tiga bulan, Rasti tak pernah keluar dari rumah baik untuk sekolah maupun sosialisasi. Bukannya ia tak mau. Ayahnyalah yang melarang dirinya keluar dari rumah. Awalnya Rasti hanya menerima kalau ia tak diizinkan keluar. Ia berpikir bahwa ia masih harus istirahat penuh. Namun setelah luka operasi sembuh, ayahnya malah tak pernah mengizinkan dirinya keluar sama sekali. Pernah sekali waktu ia ingin jalan-jalan di sekitar rumahnya. Baru ia keluat dari pintu rumah, ayahnya langsung menghampiri dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. Bakan ayahnya tak menghiraukan tangisnya.
     "Mah, Rasti ingin sekolah. Rasti juga ingin bertemu dengan teman-teman", keluh Rasti pada Mamah Hani. "Nak, kamu harus istirahat. Nanti Mamah akan ajak kamu jalan-jalan. Kamu yang sabar, ya, Nak", Mamah Hani mencoba membujuk Rasti agar sabar. Semenjak kecelakaan itu Rasti dan mamah tirinya menjadi lebih dekat. Ia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan mamah tiri yang baik. Namun Rasti juga menyesal kenapa tak dari dulu ia bisa dekat dengan mamah Hani. Semua itu karena pikirannya yang menganggap kalau ibu tiri adalah orang yang jahat. Sedangkan sampai sekarang, mamah Lusi yang merupakan ibu kandungnya tak pernah sekalipun menjenguk bahkan sekadar bertanya kabar. Rasti pun sekarang tak pernah ingin tahu lagi mengenai ibunya.
     Waktu menunjukan pukul 19.00. Rasti, pak Ardi dan mamah Hani tengah makan malam. Di tengah-tengah makan malam itu, Rasti membuka perbincangan. "Pah, aku ingin sekolah, aku ingin keluar dari rumah", ujar Rasti tanpa basa-basi. "Papah tidak izinkan kamu keluar!", jawab Pak Ardi tegas. "Kenapa? Kenapa Rasti tak pernah diizinkan keluar rumah? Papah malu dengan keadaan Rasti sekarang?", Rasti mulai meninggikan nada suaranya. "Kamu cukup di rumah! Lagipula Papah sudah membayar guru privat untuk kamu!", Pak Ardi mulai emosi. Ia menghentikan mengunyah makanannya setelah menjawab pertanyaan Rasti. Bu Hani hanya terdiam melihat seorang ayah dan anaknya beradu mulut. "Papah jahat! Egois! Bahkan hewan peliharaan saja diajak keluar oleh majikannya! Lalu Papah anggap aku ini apa?", Rasti tak dapat menahan amarah yang selama ini dipendamnya. "Kau ini...!", cetus Pak Ardi yang langsung dipotong oleh istrinya. Bu Hani berusaha menenangkan suaminya itu dengan kata sabar. Tak ada hal lain yang dapat dilakukannya. Ia tahu kalau karakter suaminya itu cukup keras. Rasti yang sudah sangat kecewa dengan perlakuan ayahnya langsung memutar kursi rodanya ke arah kamar. Air matanya menetes dengan derasnya. Ia mencoba menahan tangis suaranya.
     Seminggu setelah kejadian di meja makan ketika makan malam membuat Rasti menjadi lebih pendiam. Ia sama sekali tak pernah berbicara bila rasanya tak perlu. Sesekali Rasti hanya bisa melihat keluar dari jendela kamarnya. Terkadang ia menumpahkan perasaanya melalui sebuah buku diary berwarna pink dengan gambar lukisan abstrak penuh warna. Setelah kecelakaan yang merenggut satu kaki kirinya, ia tak pernah menggunakan handphone. Ayahnya tak mengizinkan Rasti bermain gadget sama sekali. Hal tersebut dikarenakan pak Ardi tak ingin anaknya salah bergaul. Kini ia bagaikan penghuni rumah yang akan selalu jadi penunggu dan mungkin sampai ajal menjemput, pikirnya.
     Hujan jatuh seakan menyirami bumi yang kering gersang. Daun hijau muda yang banyak tumbuh di sekitar rumah, terlihat sangat segar dengan adanya tetesan air. Menyejukkan bagai sebuah penyejuk. Hal seperti ini tak akan pernah dilewatkan oleh Rasti. Baginya hujan yang turun bukan hanya rahmat yang diberikan Allah kepada umat manusia. Hujan merupakan pelipur sepi baginya. Suara rintik hujan seperti musik alami yang sengaja datang untuk menghibur dirinya. Sembari memandangi jatuhnya air hujan yang deras, Rasti tengah menyanyi lirih tepat di hadapan jendela.
     Tiba-tiba suara pintu kamar Rasti yang terbuka membuat pandangannya teralihkan. Mamah Hani masuk dengan piring berisi makanan di tangannya. Dari daun pintu senyum merekah sudah nampak dari bibirnya. "Lebih enak melihat hujan turun sambil makan", ujar Mamah Hani sembari menempatkan diri duduk di pinggiran kasur menghadap ke arah Rasti. "Aku ingin sekali menyentuh air hujan itu, Mah", Rasti menimpal dengan rasa inginnya. "Nanti setelah kamu sembuh", jawab mamah Hani. "Mah, kenapa papah tak mengizinkan Rasti keluar? Apa papah malu karena kaki Rasti hanya satu?", Rasti masih penasaran dengan perlakuan papahnya. "Papahmu hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Nak. Ia ingin menjagamu", terang mamah Hani. "Tapi bukan seperti ini caranya. Aku juga butuh sosialisasi", cetus Rasti. Mamah Hani hanya bisa mengangguk tersenyum mencoba menenangkan Rasti yang mulai emosi.
     Telepon rumah berbunyi. Mendengar deringnya, Rasti yang tengah memutar kursi rodanya langsung memutar arah menuju ruang tengah. Belum sempat Rasti mengangkat, suara dering berhenti. Rasti terdiam sejenak dan langsung bersiap memutar kursi rodanya kembali ke arah kamar. Tak sempat kursi roda itu berbalik arah, telepon berdering kembali. Rasti tak berpikir panjang dan langsung mengangkatnya. "Halo?", ucap Rasti. "Halo. Bisa bicara dengan Rasti?", jawab penelepon itu. "Ini...siapa ya?", tanya Rasti. "Saya Lusi, mamahnya Rasti". Mendengar jawaban penelepon bahwa ia adalah mamah Lusi, Rasti terkaget. Matanya sedikit membelalak. Pikirannya buyar. Ia bingung apakah harus senang mendengar suara mamahnya atau harus marah. Beberapa saat ia tak bisa berbicara. Rasti bingung harus bagaimana. "Halo?", suara mamah Lusi terdengar. "mamah?", tanya Rasti spontan. "Rasti? Ini kamu, Nak? Ini Mamah. Mamah kangen sekali dengan kamu. Bagaimana keadaanmu sekarang?", ucap mamah Lusi panjang lebar setelah sadar bahwa yang menjawab teleponnya adalah Rasti. "Untuk apa Mamah menelepon? Bukannya Mamah tidak lagi peduli dengan Rasti?", ketus Rasti ketika menjawab. "Rasti...", belum selesai mamahnya menjawab Rasti langsung menutup telepon tersebut. Rasti tak dapat menyembunyikan sedih hatinya. Namun ia juga menyimpan amarah yang dalam untuk mamahnya. Dengan cepat ia kembali ke kamar.
     Embun di atas daun bergelantungan menyongsong segarnya pagi ini. Hijaunya pemandangan membuat pagi ini seperti terlahir kembali ke dunia. Dingin yang samar menggores kulit dengan halusnya. Hari Minggu ini membuat hati Rasti tak merasa sepi seperti biasanya. Papah dan mamahnya kini menemani dirinya di rumah. Tak ada kegiatan khusus memang di hari itu. Hanya sekadar berkumpul dan berbincang-bincang di bumbui gurauan sudah menjadi hal yang menyenangkan. "Pah, bolehkah Rasti menyampaikan sesuatu?", tiba-tiba Rasti merajuk. "Sampaikan saja, Nak", jawab ayah Rasti. "Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya Rasti meminta pada Papah. Rasti tak ingin terus-terusan di dalam rumah. Rasti tidak bisa seperti ini terus. Rasti butuh teman", Rasti menyampaikan dengan air mata meleleh di pipinya. "Sudah berapa kali Papah bilang, kamu tidak boleh keluar. Papah tidak ingin kamu diolok-olok oleh orang lain. Paham!", raut wajahnya mulai memerah. "Kalau begitu kirim saja aku ke panti asuhan!", Rasti tak bisa menahan emosinya. "Pah, Rasti benar. Dia tak mungkin terus di dalam rumah. Seharusnya kita sebagai orang tua harus membuktikan kepada semua orang kalau kita mampu membuat Rasti lebih sukses. Bukan malah membatasi dia", mamah Hani kini lebih tegas dengan sikapnya. Ia menjadi tak tega melihat Rasti terus menangis meminta perlakuan adil pada ayahnya. Seketika suasana menjadi hening. Mamah Hani kini memeluk Rasti yang menangis menahan rasa marahnya. Pak Ardi yang berkarakter keras terlihat tengah memikirkan perkataan sang istri.
"Maafkan papah, Ras. Papah egois. Papah akui, Papah sempat merasa malu mempunyai seorang anak yang keadaannya seperti kamu. Tapi, Papah juga tidak mau kalau kamu tersakiti dengan karena menjadi bahan olokan. Maafkan Papah, Nak", jelas pak Ardi. Suasana haru begitu menyerbu ruangan itu. Pak Ardi langsung memeluk Rasti. Kini kebahagiaan telah lengkap rasanya. Rasti yang jarang menyunggingkan senyumnya, sekarang hampir setiap saat tak ada waktu untuk tidak menampakan raut senyum manisnya itu. Meskipun belum bisa untuk bersekolah, Rasti sangat mensyukuri perubahan sikap sang ayah pada dirinya.
     Malam ini, merupakan hari ulang tahun Rasti yang ke 17. Di hari spesial ini sang ayah dan mamah Hani tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memberikan hadiah terindah untuk sang anak. Rasti yang tengah berada di dalam kamarnya sibuk merias diri dengan dibantu oleh seorang teman dekatnya bernama Bella. Sudah hampir 5 bulan ia tak pernah bertemu dengan Rasti semenjak kecelakaan itu. Kini setelah Rasti diizinkan keluar rumah, satu per satu teman SMAnya berdatangan tak terkeculi Bella. "Semoga di hari ulang tahunmu, kamu akan mendapatkan apa yang diinginkan", ucap Bella pada Rasti setelah mendandani. Bella tersenyum lebar mendengar ucapan itu dari sahabatnya. Ia tak menyangka sahabatnya masih bisa menerima keadaan dirinya yang sekarang hanya berkaki satu. Bella langsung mendorong kursi roda milik Rasti ke ruang pesta ulang tahun.
     Setibanya Rasti di tengah-tengah para sahabat yang sudah datang di ulang tahunnya, ia kembali menyunggingkan senyum manisnya. Semua orang menatapinya dengan penuh kagum. Pak Ardi dan mamah Lusi yang menunggunya juga melemparkan senyum bangga pada anaknya itu. Mata Rasti berkeliling memandangi satu per satu yang datang. Tiba-tiba di tengah ramainya orang, Rasti seperti melihat seorang wanita yang tak asing baginya. Wanita itu tersenyum pada Rasti. Rasti yang masih mencoba mengingat siapa orang tersebut tak menjawab senyumnya. Tak disangka, sambil berlari kecil wanita itu langsung menghampirinya dan langsung memeluk. Ketika wajah wanita itu tepat di hadapannya Rasti baru teringat siapa wanita itu. Ia adalah mamah Lusi. Mamah kandungnya. Dengan tangisan mamah Lusi memeluk Rasti. Rasti bingung harus bagaimana. Ia tak tahu harus merasa apa. Semua rasa bercampur aduk malam itu. Benci, sedih, senang, semua seakan menghujam hatinya. "Rasti, maafkan mamah. Mamah baru bisa menemuimu sekarang, Nak", ucap mamah Lusi. "Untuk apa, Mamah ke sini?", jawab Rasti. Mendengar kalimat tanya dari anaknya, mamah Lusi langsung melepas pelukannya dan memandangi wajah Rasti. "Mungkin ini adalah kesempatan Mamah terakhir kali untuk bertemu denganmu, Nak. Mamah harus ikut dengan suami mamah ke New Zaeland. Mamah tahu kamu marah. Tapi Mamah mohon untuk terakhir kalinya. Maafkan Mamah, Nak", terang mamah Lusi sambil menjatuhkan badannya di hadapan Rasti yang berada di kursi roda. "Semua ini salah Papah, Nak. Papah yang tak izinkan mamahmu untuk bertemu denganmu. Maafkan Papah, Nak", tiba-tiba pak Ardi memotong pembicaraan. Ia mengakui kesalahannya selama ini yang tak pernah mengizinkan anaknya bertemu dengan mamahnya setelah perceraian. "Jadi...selama ini...", belum sempat Rasti melanjutkan ucapannya ia langsung menangis tersedu dan memandang dalam mamahnya berharap mamahnya memaafkan dirinya karena kesalahpahamannya selama ini. Mamah Lusi yang seakan mengerti maksud anaknya langsung memeluk Rasti. Pelukan itu pun dibalas erat oleh Rasti. Semua orang yang datang seperti melihat seorang anak dan ibu yang lama tak bertemu namun sekarang harus berpisah kembali.

Cerpen ini menjadi cerpen keempat yang saya tulis secara tulus dalam blog ini. Semoga ketulusan yang mengiringi akan menjadi bumbu rasa dalam isi. Tak pernah terpikir untuk membuat cerpen terbaik. Hanya ingin menulis dan menulis. Maka apabila banyak kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf. Semoga penulis amatir seperti saya ini, dapat belajar dan menyandar untuk membagi tulisan pena penuh getar. Terima kasih.

Facebook 👉 Sintiya DY
Instagram 👉 sintiyadwi

Selasa, 25 April 2017

Cerpen singkat motivasi

                           Dalam Diam
                  ( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
           Universitas PGRI Semarang

    Malam ini merupakan malam terakhir Dr. Hana praktik di desa Mangunharjo. Aisyah masih menemani Dr. Hana mengemasi barang yang akan dibawa ke Jakarta pulang nanti. Bu Titin dan Pak Karno berada di ruang tamu tengah menikmati tontonan reality show di televisi. Sesekali Bu Titin masuk ke dalam melihat apakah Dr. Hana dan Aisyah telah selesai mengemasi barang atau belum. Dr. Hana sudah satu bulan praktik di desa Mangunharjo. Selama sebulan ini Dr. Hana menginap di rumah Pak Karno dan Bu Titin yang merupakan orang tua dari Aisyah. Aisyah adalah anak tunggal mereka. Aisyah sangat antusias dengan adanya Dr. Hana. Ia merasa Dr. Hana bisa menjadi tempat bertanyanya mengenai kedokteran. Begitu pula Dr. Hana, ia menganggap Aisyah sebagai adiknya. Jarum jam menunjukan pukul 19.30, Dr. Hana dan Aisyah keluar dari kamar. "Sudah selesai Dok?", Tanya Bu Titin. "Sudah bu. Untung ada Aisyah yang membantu", jawab Dr. Hana. Dr. Hana langsung menempatkan diri di kursi panjang dekat dengan Bu Titin. Aisyah langsung mengikuti dan duduk dekat Pak Karno. Mereka berbincang-bincang santai sambil menikmati sepiring pisang goreng yang Bu Titin buatkan khusus untuk malam perpisahan Dr. Hana. Mereka tampak akrab satu sama lain. Keluarga Pak Karno yang hangat membuat Dr. Hana enggan cepat-cepat pergi dari desa Mangunharjo. Aisyah yang sudah sangat akrab juga tampak tak rela kalau Dr. Hana kembali ke Jakarta.
     Pagi ini acara pelepasan Dr. Hana kembali ke Jakarta. Di depan balai desa yang sekaligus menjadi tempat praktiknya, Dr. Hana tengah memberi ucapan salam perpisahan kepada para warga yang hadir. Mereka rata-rata adalah pasien yang pernah datang. "Terimakasih atas keramahan Bapak, Ibu sekalian yang telah membantu saya dalam menjalankan tugas. Semoga sebulan saya di sini ada manfaat yang bisa Bapak, Ibu sekalian rasakan. Mohon maaf bila saya tidak membantu secara maksimal. Dan terakhir, saya sangat mengucapkan terimakasih kepada keluarga Pak Karno yang bukan hanya memberikan saya tumpangan tidur. Namun juga keluarga yang sangat hangat", ucap Dr. Hana dalam perpisahannya.
     Pikiran Aisyah tertuju pada desanya yang sedang melakukan acara perpisahan bersama Dr. Hana. Ia ingin sekali datang di acara itu. Namun Dr. Hana melarang Aisyah untuk membolos. Ia tak mau Aisyah menjadi anak yang tidak bertanggung jawab terhadap tanggung jawabnya. Aisyah yang kini duduk di SMA kelas 3 sangat mengidolakan Dr. Hana semenjak kedatangannya di rumahnya. Ia melihat sosok tulus dan mengabdi dalam diri Dr. Hana. Sesekali ia membantu di klinik, membuatnya terketuk mengikuti jejak sang dokter.
     Malam ini terasa sepi. Raut wajah Aisyah seperti tak biasanya. Seperti ada yang hilang dari dirinya. Dan itu pastilah karena kepulangan Dr. Hana. "Kenapa Kamu nak? Kenapa mukamu seperti sedang ada masalah?", tanya Bu Titin sembari membawa segelas kopi. "Tidak apa-apa, Bu. Aisyah hanya sedang membayangkan sesuatu", jawab Aisyah. "Apa yang kamu bayangkan nak?", bu Titin penasaran. "Aisyah sedang membayangkan kalau Aisyah bisa menjadi dokter seperti Dr. Hana. Rasanya pasti luar biasa. Iya kan, Bu?", jelas Aisyah. Perkiraan Bu Titin tepat. Ia tahu pasti anaknya Aisyah sedang memikirkan tentang Dr. Hana. Bu Titin hanya tersenyum mendengar penjelasan anaknya. Bahkan ia tak sempat menjawab pertanyaan terakhir yang dilontarkan Aisyah. "Tidak bisa!", tiba-tiba suara Pak Karno yang keluar dari kamar sambil membuka korden memecah suasana hening tadi. Aisyah kaget. Bu Titin langsung meletakan kopi di atas meja dan duduk di samping Aisyah. "Maksud Bapak apa? Kenapa Bapak tiba-tiba bilang tidak bisa?", tanya Bu Titin heran. Raut wajah Aisyah berubah. Ia mengerutkan dahi pertanda menunggu jawaban dari bapaknya. Wajahnya memerah seakan sudah menebak apa yang akan dikeluarkan bapak dari mulutnya. "Nak, kamu tahu kan kita ini hidup pas-pasan. Bapak hanya satpam di sekolah dasar. Ibumu terkadang sakit-sakitan. Mana mungkin Bapak membiayaimu sekolah di kedokteran yang terkenal sangat mahal?", pak Karno menjelaskan dengan pelan sembari menduduki kursi tempat biasanya ia duduk. Aisyah hanya terdiam. Ia sadar bahwa ia bukanlah dari keluarga berada. Bu Titin pun tak berkata apa-apa. Ia hanya bisa memeluk sang anak. Ia tahu Aisyah sangat terpukul dengan penjelasan bapaknya.
     Setelah mendengar ucapan bapaknya, Aisyah bertekad belajar semaksimal mungkin agar ia dapat berprestasi dan mendapatkan beasiswa. Hal tersebut adalah satu-satunya yang bisa membawanya kuliah di kedokteran. Setiap hari tak lupa ia selalu membuka buku pelajaran terlebih mengenai materi soal ujian masuk perguruan tinggi ke kedokteran. Ia tak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Aisyah bersemangat. Banyak jalan menuju Roma. Pepatah yang selalu diingatnya demi cita-cita yang ingin dicapai.
     Ujian sekolah telah usai beberapa waktu lalu. Ujian-ujian masuk perguruan tinggi baik melalui sekolah maupun mandiri telah diikuti Aisyah. Namun takdir berkata lain. Aisyah selalu gagal masuk. Ia Heran. Prestasinya di sekolah cukup baik. Ia selalu belajar keras bila akan menghadapi ujian. Tetapi mengapa ia selalu gagal. Pikirnya dalam hati.
     Ia menjadi teringat dengan orang tuanya. Selama ini, ia tak pernah memberitahu Bapak, Ibunya bahwa ia mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aisyah merasa bersalah. Ia merasa bahwa dirinya egois. Akhirnya ia memberanikan diri memberitahu orang tuanya. Mendengar penjelasan anaknya, Pak Karno dan Bu Titin kaget. Terutama Pak Karno. Rasanya ia ingin marah namun tak kuasa. Malam itu juga Aisyah meminta restu kepada Pak Karno dan Bu Titin agar ia dapat diizinkan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi untuk terakhir kalinya dengan pilihan kedokteran. Pak Karno langsung menampakan raut wajah ketidaksetujuannya. "Bapak tidak akan setuju kalau kamu kuliah di kedokteran. Sudah berapa kali Bapak bilang!", cetus Pak Karno. "Bapak jahat. Aisyah tak pernah meminta apa-apa pada Bapak. Hanya ini pak! Aisyah ingin kedokteran bukan karena keinginan Aisyah semata. Aisyah juga ingin Bapak, Ibu bisa bangga mempunyai anak seorang dokter!", Aisyah sangat emosi. Pak Karno masih belum luluh dengan perkataan Aisyah. Namun hati kecilnya tak bisa melihat anak satu-satunya sedih dihadapannya. Akhirnya Pak Karno memberi pilihan kepada Aisyah. Ia boleh kuliah dengan jurusan pendidikan dan bukan kedokteran. Aisyah sudah merasa lega. Namun tetap hatinya memilih kedokteran.
     Akhirnya dengan sedikit keterpaksaan Aisyah memilih pendidikan. Tak lama setelah ujian masuk, pengumuman kelulusan keluar. Nama Aisyah sama sekali tak muncul dalam daftar siswa lulus masuk perguruan tinggi. Ia mencari namanya berkali kali, hampir tiga kali ia mengulang. Akhirnya setelah lama mencari Aisyah menemukan namanya. Ia diterima di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonrsia. Ia gembira seketika meskipun program studi tersebut bukanlah pilihan hatinya.
     Di awal pendidikan Aisyah sangat susah untuk beradaptasi dengan mata kuliah yang ada. Ia hampir menyerah. Namun perkataan ibunya selalu terngiang-nguang di ingatannya. "Ibu yakin, kamu bisa sukses dengan mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di luar sana masih banyak yang tidak seberuntung kamu, nak. Semangat dan jangan mudah putus asa", perkataan Bu Titin 4 bulan sebelum meninggal membuat Aisyah tak bisa membendung tangisnya jika teringat akannya. Sekarang yang ia punya hanyalah bapaknya. Pak Karno merupakan bapak yang benar-benar bertanggung jawab bagi Aisyah. Ia tak pernah mengeluh meski harus bekerja di usia senjanya dan harus mengurus rumahnya sendiri karena Aisyah tinggal di kota dekat dengan kampusnya. Setiap bulan Aisyah berusaha untuk pulang dan mengunjungi bapaknya. Ia tak tega melihat bapaknya yang mulai sakit-sakitan. Namun ia juga bertekad untuk membahagiakan dan membuat bangga bapaknya.
     "Bu, saya izin ke toilet", suara anak perempuan dengan lesung pipinya mengagetkan Aisyah. Aisyah langsung melihat jam tangannya. Ternyata sedari tadi ia melamun membayangkan hal yang dulu terjadi padanya ketika melihat para mahasiswa perawat memakai seragam perawatnya. Ia menjadi teringat perjuangannya yang ingin menjadi seorang dokter namun tak direstui orang tuanya. Kini Aisyah menjadi seorang dosen di sebuah Universitas keperawatan di Yogyakarta. Ia menjadi dosen mata kuliah Bahasa Indonesia. Ia bangga karena restu orang tuanya membawanya menjadi seorang dosen yang membanggakan bagi sang bapak. Kini Pak Karno tinggal bersama Aisyah dan menantu serta cucunya. "Silahkan", jawab Aisyah mempersilahkan mahasiswa tersebut. Waktu mengajar telah usai. Aisyah mengemasi barang yang ada di mejanya. Tak lupa ia mengucap salam pada para mahasiswa. Ia pun meninggalkan ruang kelas dengan pikiran masih menerawang masa lalunya yang penuh dengan perjuangan.
     Setelah sampai di ruang dosen, tiba-tiba handphone milik Aisyah berbunyi. Ternyata itu adalah telepon masuk dari Dr. Hana. Dari dulu sampai sekarang Aisyah memang masih tetap bersilaturahim dengan Dr. Hana. "Assalamu'alaikum dok", Aisyah memulai pembicaraan. "Wa'alaikumussalam. Bagaimana kabarmu Is? Hari ini saya ada waktu luang. Rasanya sudah lama tak bertemu denganmu. Bagaimana kalau kita bertemu di tempat yang dulu kita pernah bertemu?", tanpa basa-basi Dr. Hana langsung mengutarakan keinginannya. "Wah Dr. Hana tahu saja kalau saya juga ingin bertemu dengan Dokter. Kalau begitu setelah ashar, saya hubungi dokter lagi. Saya sudah tidak sabar bertemu dengan dokter", Aisyah menjawab dengan nada semangat. Ingatannya semakin kuat tentang masa lalunya. Ia sangat bersyukur hidup dalam keluarga yang begitu menyayanginya. Ia juga sangat bersyukur karena dipertemukan dengan Dr. Hana yang selalu memberinya motivasi.
     Semakin hari Aisyah semakin bersyukur karena dilahirkan dalam keluarga yang penuh perhatian. Karena ridho orang tuanya lah, Aisyah mampu membuktikan bahwa dirinya dapat sukses dengan potensi yang dimiliki. Hidup memang tak selalu sejalan dengan hati. Namun yakinlah bahwa hati yang teguh akan menjalankan hidup. Dan itu pilihan hatimu. Aisyah bersyukur.

Cerpen dalam diam ini merupakan cerpen ketiga yang saya tulis dalam blog dan dibuat di sela-sela tugas kuliah. Cerpen singkat ini saya buat sebagai bahan lomba menulis cerpen. Namun, karena alasan tertentu saya tak melanjutkannya. Masih banyak kekurangan dalam penulisan cerpen ini dan penulis sangat menyadarinya. Maka dari itu, penulis mengharap saran dan kritik dari para pembaca. Terima kasih.

Instagram 👉 sintiyadwi
Facebook  👉 Sintiya DY

Semangat Chairil Anwar sebagai Binatang Jalang

Semangat Chairil Anwar sebagai             Binatang Jalang

     Karya sastra Chairil Anwar merupakan salah satu karya sastra yang paling sering digunakan dalam dunia kesastraan baik sebagai bahan pembahasan di lingkup sastrawan-sastrawan masa kini maupun dalam bidang akademis. Tak dipungkiri bahwa karya sastra milik sastrawan angkatan 45 ini turut membangun pikiran-pikiran yang cerdas dalam masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Chairil Anwar adalah orang yang hidup dalam perjuangan. Tak heran karya sastranya banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya.
     Dalam salah satu karya satra puisinya berjudul Semangat yang kemudian diubah menjadi Aku yang ditulisnya pada Maret 1943, Chairil Anwar begitu lugas dan tegas dalam mencurahkan isi hatinya melalui puisi tersebut. Namun pada zamannya, banyak orang yang tidak suka dan menolak adanya puisi Aku. Mereka menganggap puisi Aku tak sejalan dengan puisi pada masanya. Kata aku ini binatang jalang juga menjadi salah satu bahan perdebatan yang dianggap frontal. Bahkan seorang yang sezaman dengan Chairil Anwar yaitu Bung Usman sampai menulis tulisan dengan judul “Hendak Jadi Orang Besar?” dalam menanggapi puisi Aku. Hal itu menunjukan Usman yang kesal dengan vitalitas dan cara hidup baru yang ditunjukan Chairil dalam puisinya. Dilihat dari strukturnya puisi aku termasuk ke dalam jenis puisi lama yang merupakan karya sastra pendobrak karya sastra puisi lain pada masanya yang kala itu masih menggunakan bahasa mendayu-dayu. Sedangkan puisi Aku dalam penggunaan bahasa lebih bebas dan lugas.
     Dalam syair puisi Aku yang ditulisnya yaitu : Kalau sampai waktuku/ kumau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau// tak perlu sedu sedan itu// aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang// biar peluru menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang// luka dan bisa kubawa berlari-lari/ hingga hilang pedih peri// dan aku akan lebih tidak peduli/ aku mau hidup seribu tahun lagi, menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain meskipun banyak rintangan yang ia hadapi.
     Chairil merupakan seorang yang individualis yang bebas dan berani. Hal tersebut terlihat dari karya esai dan puisi yang dibuatnya. Salah satunya dalam puisi Aku. Kemungkinan tersebut dikuatkan dengan adanya pendapat dari seorang lulusan sarjana sastra Indonesia asal Timor Timur, yaitu AG Hadzarmawit Netti. Ia mengatakan bahwa "Judul Aku menekankan individualistis seorang Anwar". Netti sendiri menganalisis bahwa puisi Aku mencerminkan kebutuhan Chairil Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak dibentuk kekuatan luar. Dan dalam penggalan bait terakhir puisi Aku, Netti menerangkan bahwa Chairil Anwar bangga akan keindividualistisnya yang tergambar dari sajak terakhir puisi tersebut.
     Dalam keindividualistisnya, Chairil Anwar nampaknya tak hanya individualistis hanya dalam pribadi semata. Namun ia ingin menyampaikan bahwa bangsa Indonesia ingin bebas, tak ingin lagi tertindas, dan ingin lepas dari semua bentuk penjajahan Jepang. Kala puisi Aku meroket, keadaan masyarakat Indonesia memanglah menyedihkan. Mereka hidup miskin, di bawah jajahan Jepang.
     Chairil Anwar memanglah sastrawan pembangun jiwa, rasa, dan daya. Tak seorang pun menduga bahwa puisi Aku akan menjadi salah satu titik pemikiran bagi masyarakat agar hidup lebih bebas tanpa kendali penjajah. Meski harus ditangkap oleh penjajah Jepang karena puisinya yang dianggap tak sejalan dengan pemerintah Jepang dan membangkang pada saat itu. Namun Chairil Anwar tetap dengan tegasnya menyuarakan kebebasan dan semangat kemerdekaan.
     Ada banyak hal yang dapat kita pelajari melalui puisi Aku milik Chairil Anwar ini. Dengan menghayatinya kita dapat merasakan bagaimana perjuangan mereka-mereka yang hidup di zaman awal kemerdekaan yang idenya begitu dikekang, suaranya dibungkam, dan hatinya dirajam. Singkatnya sajak puisi Aku tak sesingkat rasa yang sampai sekarang masih bisa di hayati dari generasi ke genarasi. Mereka memang tak mengalami. Paling tidak, sebagai bangsa yang besar, mereka masih bisa menghargai jasa pahlawannya tak terkecuali sastrawan-sastrawan seperti Chairil Anwar yang ikut dalam membentuk pemikiran cerdas bangsa Indonesia memalui sajaknya.
     Semoga masih banyak sastrawan-sastrawan masa kini yang ikut melanjutkan perjuangan sastrawan awal kemerdekaan seperti Chairil Anwar dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan kecerdasan, kegigihan, dan semangat. Karena penjajah masa kini tak lagi menyerang fisik melainkan pemikiran. Maka mulailah suarakan hatimu layaknya puisi Aku yang tak lekang oleh waktu.

Sabtu, 22 April 2017

Semarak Kartini 2017 "Perempuan Berkarya" Universitas PGRI Semarang

     Kenyamanan bukanlah jaminan kebahagiaan. Ada hal-hal yang harus dilampaui lebih dari itu. Mungkin sesuatu yang harusnya ada tetapi tersembunyi atau disembunyikan. Peluh keringat diperjuangkan. Demi hak yang harus tersalurkan. Modern ini, belum selesai. Aku, kau maupun dia masih harus cerdas. Cerdas dalam mempertahankan meski tertahan, cerdas dalam memperjuangkan meski harus kelelahan. Itu bukan apa-apa. Bukan apa-apa dibandingkannya.
     Perayaan bukanlah berleha-leha, bukanlah upacara adanya. Ini adalah wadah. Tempat mengingat, tempat membuka memori-memori perjuangan. Bersama semangatnya kita bawa hak wanita. Kita songsong wanita cerdas bukan ngepas. Habis gelap terbitlah terang, dan jagalah tetap terang.
     21 April bukan hanya saja saat dimana mengenang perjuangan seorang Kartini. Tepatnya adalah momentum mengingatkan para perempuan akan kelebihan dan potensi yang dimilikinya. Sehingga potensi tersebut dapat tersalurkan sebagaimana harusnya. Seperti ucapan dari Putri Indonesia favorit Jawa Tengah Mega Prabowo, bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai keinginannya apabila ia belum matang dalam persiapan. Maka perempuan sejatinya harus bisa mempunyai potensi yang dikembangkan.
      Satu hal yang pasti. Menjadi wanita yang memperjuangkan tak harus menjadi seorang Putri Kartini. Karena, semua wanita adalah Kartini yang harus membela haknya tanpa meninggalkan kewajibannya. Kesetaraan tak akan terjadi apabila wanita tersebut tak menginginkannya. Maka, jadilah pelopor bukan pengekor, jadilah pejuang bukan pendulang

Kamis, 06 April 2017

Puisi "Bukan Kita"

                 Pasukan Penyelamat
                 ( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
           Universitas PGRI Semarang

Berbaris tiang seperti pasukan paskibra
Tertata rapi padahal tak ada komando
Terhempas, tersapu debunya udara
Namun tak sekalipun mereka mengeluarkan keluhan suara
Meski ada kalanya mereka tumbang karena tak kuasa menanggung beban
Dan itu, bukan kita

Tiang kayu berambut hijau muda
Lebih muda dibanding berambut hijau tua
Mereka sama saja
Mengeluarkan apa yang memang waktunya
Tak pandang tua muda
Bila jatahnya, ya jatahnya
Meski kadangkala kau ikut jatuh mengikuti tiang yang tak sanggup menanggung beban
Dan itu, bukan kita

Menjalar ke penjuru arah kau digelar
Abu-abu bergaris putih di tengah
Bertumpuk semua benda dengan keasingannya
Zat kotor tak terjamak menjadi saksi semua
Berserakan semua benda seperti dibuang sang pemiliknya
Dan itu, bukan kita

Seperti kebahagiaan
Nyaman dan keindahan seperti kecintaan
Dengan ini aku mengabdi
Menjadi penyelamat barang satu, dua nyawa
Dari kotoran penghujam paru yang datang dari segala penjuru
Dan itu, bukan kita bila tak bersih