Kembali
( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Semarang
Malam ini rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Rasti. Sambil menggigit bibir bawahnya ia seperti orang yang kebingungan. Pensil di tangannya digerakkannya ke sana ke mari tak mengerti maksud dan tujuannya. Kamar berukuran tiga kali empat meter itu seperti tak berpenghuni. Hanya ada detak jarum jam yang berdenting mengikuti waktu yang selalu berjalan tanpa perintah. Kasur dengan sprei warna pink terlihat berantakan penuh dengan bantal, buku, dan boneka minion yang terlihat sudah lusuh. Rasti masih duduk dengan seriusnya tanpa merubah posisinya dari semula. Kertas putih di atas meja di hadapannya masih bersih tanpa coretan. Ia seperti sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk ditulisnya dalam kertas itu. Sinar rembulan yang masuk ke dalam kamar menerobos korden putih seakan menerawang apa yang sedang terjadi dalam kamar tersebut. Sampai jarum jam pendek mengarahkan dirinya menuju angka 9, Rasti tak kunjung pindah dari posisinya. Tiba-tiba suara pesan masuk terdengar dari atas kasur. "Sayang, jaga kesehatanmu. Mama akan selalu merindukanmu dan mendoakan yang terbaik untukmu", pesan itu membuat Rasti berdiri dari duduknya. Sesaat setelah membaca pesan itu, Rasti langsung membaringkan badannya di atas kasurnya. Barang-barang yang masih di atas kasur tak dihiraukannya. Tak pernah terbesit dalam dirinya untuk membalas pesan dari mamanya. Semenjak perceraian orang tuanya, Rasti sedikit berubah dari sikap biasanya. Ia menjadi pendiam. Kini Rasti tinggal bersama ayahnya yang biasa dipanggilnya papah. Namun Rasti tak pernah merasa ia mendapatkan kasih sayang baik dari ayahnya atau pun mamanya.
Setelah semua tugas kelompok selesai, Rasti dan temannya mulai berkemas meninggalkan sekolah dengan kendaraannya masing-masing. Rasti yang biasanya menunggu jemputan dari supir pribadinya terlihat berdiri di depan gerbang sembari memegang handphone miliknya. "Pak, tidak usah jemput Rasti. Rasti ada acara di luar", ketik Rasti dalam handphone-nya yang ditujukan untuk Pak Joko, supir pribadinya. Pak Joko merupakan supir keluarga ayah Rasti yang sudah bekerja selama 5 tahun. Namun, setelah percerian orang tua Rasti, Pak Joko hanya ditugaskan untuk mengantar jemput Rasti kemana pun ia pergi. Sosok yang sederhana, perhatian, dengan jenggot dan kumis yang tipis membuat Rasti lebih dekat dengan supir pribadinya dibanding dengan ayahnya sendiri. Tak jarang tugas yang seharusnya dilakukan seorang ayah terkadang digantikan oleh Pak Joko.
Sore itu pengunjung mall begitu ramai. Ibu dengan anak-anaknya kesana kemari. Anak sekolahan berpergian seperti berkelompok. Semua usia seperti presensi hadir dalam gedung tinggi menjulang tersebut. Rasti terlihat berada di lantai 3. Ia duduk di sebelah jendela dengan pemandangan ke arah luar penuh dengan gedung pencakar langit. Jakarta memanglah seperti hutan besi. Pepohonan kini tergantikan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Setelah hampir 4 menit Rasti melihat-lihat menu, akhirnya ia memesan spageti bolonice dan avocado juice untuk makan sorenya kali ini. Pesanan pun datang dan langsung dilahapnya makanan itu. Semenjak ayahnya menikah dengan wanita lain dan ia memilih tinggal di rumah yang berbeda dengan ayahnya, Rasti merasa bahwa tidak ada makanan yang lebih enak dibanding makanan di luar sana. Meskipun beberapa kali istri baru ayahnya datang untuk memberikan makanan namun Rasti tetap tak bergeming menerima istri baru ayahnya itu. Bahkan sampai sekarang Rasti masih berharap ayah dan mamanya dapat rujuk dan berkumpul dengannya seperti dahulu.
Waktu menunjukan pukul 17.25. Sebelum meninggalkan kafe tersebut Rasti sempat melihat handphonenya. 18 panggilan tak terjawab dari supir pribadinya membuat ia geram. Bukan karena terganggu. Rasti berpikir kenapa bukan ayahnya yang menelfonnya. Kenapa bukan ayahnya yang mencari-carinya. Raut wajahnya berubah. Ia menekan giginya tanda kecewa. Akhirnya Rasti keluar meninggalkan kafe.
Kali ini Rasti tak ingin supir pribadinya yang menjemput. Ia sudah kesal dengan apa yang terjadi. Ia kira akan ada seorang ayah yang panik mencarinya. Dugaannya salah. Setelah 5 menit menunggu, akhirnya Rasti memutuskan naik ojek. Ojek tersebut sudah menunggu di seberang jalan. Rasti pun menghampirinya. Tiba-tiba dari arah kanan Rasti, ada sebuah mobil merah berplat B melaju kencang tanpa kendali. Rasti yang kala itu sedang menyeberang langsung tertabrak. Suara keras tabrakan itu membuat semua orang yang berada di sekitar area itu langsung tertuju pada kejadian tersebut. Rasti tergeletak lemah dengan luka gores yang hampir rata di sekitar badannya. Dari pelipisnya keluar darah yang mengalir melewati hidung seperti menangis darah. Tubuhnya tergeletak tak bergerak. Hanya kedipan mata yang masih menampakan tanda kehidupan. Semua orang berkumpul melihati. Namun tak seorang pun berani untuk membopong Rasti. Sampai ambulans datang, Rasti tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Di ruang Melati sebuah rumah sakit, Rasti terbaring lemah dengan penuh perban di sekujur tubuhnya. Di samping ranjangnya ada seorang bertubuh tinggi besar, berkulit putih dan berperawakan orang kantoran sedang menatapi Rasti dengan raut wajah kasihan. Ia adalah ayahnya. Matanya berkaca-kaca sedari tadi. Di luar kamar, seorang perempuan berpenampilan modis yang merupakan istri dari ayah Rasti, bernama Hani. terlihat duduk di samping Pak Joko. "Bagaimana keadaan Rasti, Pah?", tanya Bu Hani pada suaminya sesaat setelah keluar. "Dia harus istirahat lama, Mah. Dokter tadi bilang, kalau kakinya sulit untuk diselamatkan", jawab ayah Rasti dengan nada lemah. "Maksud Papah, kaki Rasti harus diamputasi?", cetus Bu Hana seketika mendengar jawaban suaminya. Pak Ardi, ayah Rasti hanya bisa mengangguk seperti telah pasrah dengan keadaan. Ia tak menyangka anak satu-satunya akan menerima takdir sepahit ini. Dokter mengatakan bila kaki Rasti tak diamputasi, nyawanya bisa terancam. Dan Pak Ardi tak mau kehilangan anaknya. "Apa tidak ada cara lain, Pah, selain amputasi?", Bu Hani mencoba memastikan lagi. Lagi-lagi Pak Ardi menjawabnya dengan gerakan. Ia menggelengkan kepala. Seperti tak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaannya. Bu Hani langsung memeluk suaminya. Ia mencoba menenangkan suaminya itu. Air mata Pak Ardi langsung mengalir pelan di pipinya.
Tiga bulan setelah operasi, Rasti kini sangat berbeda. Wajah putihnya layu seakan tak punya harapan hidup. Di atas kursi roda Rasti tak pernah menampakan senyumnya. Ia hanya tersenyum seperlunya. Itu pun terlihat tak natural. Setelah operasi, kini ia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Selama tiga bulan, Rasti tak pernah keluar dari rumah baik untuk sekolah maupun sosialisasi. Bukannya ia tak mau. Ayahnyalah yang melarang dirinya keluar dari rumah. Awalnya Rasti hanya menerima kalau ia tak diizinkan keluar. Ia berpikir bahwa ia masih harus istirahat penuh. Namun setelah luka operasi sembuh, ayahnya malah tak pernah mengizinkan dirinya keluar sama sekali. Pernah sekali waktu ia ingin jalan-jalan di sekitar rumahnya. Baru ia keluat dari pintu rumah, ayahnya langsung menghampiri dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. Bakan ayahnya tak menghiraukan tangisnya.
"Mah, Rasti ingin sekolah. Rasti juga ingin bertemu dengan teman-teman", keluh Rasti pada Mamah Hani. "Nak, kamu harus istirahat. Nanti Mamah akan ajak kamu jalan-jalan. Kamu yang sabar, ya, Nak", Mamah Hani mencoba membujuk Rasti agar sabar. Semenjak kecelakaan itu Rasti dan mamah tirinya menjadi lebih dekat. Ia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan mamah tiri yang baik. Namun Rasti juga menyesal kenapa tak dari dulu ia bisa dekat dengan mamah Hani. Semua itu karena pikirannya yang menganggap kalau ibu tiri adalah orang yang jahat. Sedangkan sampai sekarang, mamah Lusi yang merupakan ibu kandungnya tak pernah sekalipun menjenguk bahkan sekadar bertanya kabar. Rasti pun sekarang tak pernah ingin tahu lagi mengenai ibunya.
Waktu menunjukan pukul 19.00. Rasti, pak Ardi dan mamah Hani tengah makan malam. Di tengah-tengah makan malam itu, Rasti membuka perbincangan. "Pah, aku ingin sekolah, aku ingin keluar dari rumah", ujar Rasti tanpa basa-basi. "Papah tidak izinkan kamu keluar!", jawab Pak Ardi tegas. "Kenapa? Kenapa Rasti tak pernah diizinkan keluar rumah? Papah malu dengan keadaan Rasti sekarang?", Rasti mulai meninggikan nada suaranya. "Kamu cukup di rumah! Lagipula Papah sudah membayar guru privat untuk kamu!", Pak Ardi mulai emosi. Ia menghentikan mengunyah makanannya setelah menjawab pertanyaan Rasti. Bu Hani hanya terdiam melihat seorang ayah dan anaknya beradu mulut. "Papah jahat! Egois! Bahkan hewan peliharaan saja diajak keluar oleh majikannya! Lalu Papah anggap aku ini apa?", Rasti tak dapat menahan amarah yang selama ini dipendamnya. "Kau ini...!", cetus Pak Ardi yang langsung dipotong oleh istrinya. Bu Hani berusaha menenangkan suaminya itu dengan kata sabar. Tak ada hal lain yang dapat dilakukannya. Ia tahu kalau karakter suaminya itu cukup keras. Rasti yang sudah sangat kecewa dengan perlakuan ayahnya langsung memutar kursi rodanya ke arah kamar. Air matanya menetes dengan derasnya. Ia mencoba menahan tangis suaranya.
Seminggu setelah kejadian di meja makan ketika makan malam membuat Rasti menjadi lebih pendiam. Ia sama sekali tak pernah berbicara bila rasanya tak perlu. Sesekali Rasti hanya bisa melihat keluar dari jendela kamarnya. Terkadang ia menumpahkan perasaanya melalui sebuah buku diary berwarna pink dengan gambar lukisan abstrak penuh warna. Setelah kecelakaan yang merenggut satu kaki kirinya, ia tak pernah menggunakan handphone. Ayahnya tak mengizinkan Rasti bermain gadget sama sekali. Hal tersebut dikarenakan pak Ardi tak ingin anaknya salah bergaul. Kini ia bagaikan penghuni rumah yang akan selalu jadi penunggu dan mungkin sampai ajal menjemput, pikirnya.
Hujan jatuh seakan menyirami bumi yang kering gersang. Daun hijau muda yang banyak tumbuh di sekitar rumah, terlihat sangat segar dengan adanya tetesan air. Menyejukkan bagai sebuah penyejuk. Hal seperti ini tak akan pernah dilewatkan oleh Rasti. Baginya hujan yang turun bukan hanya rahmat yang diberikan Allah kepada umat manusia. Hujan merupakan pelipur sepi baginya. Suara rintik hujan seperti musik alami yang sengaja datang untuk menghibur dirinya. Sembari memandangi jatuhnya air hujan yang deras, Rasti tengah menyanyi lirih tepat di hadapan jendela.
Tiba-tiba suara pintu kamar Rasti yang terbuka membuat pandangannya teralihkan. Mamah Hani masuk dengan piring berisi makanan di tangannya. Dari daun pintu senyum merekah sudah nampak dari bibirnya. "Lebih enak melihat hujan turun sambil makan", ujar Mamah Hani sembari menempatkan diri duduk di pinggiran kasur menghadap ke arah Rasti. "Aku ingin sekali menyentuh air hujan itu, Mah", Rasti menimpal dengan rasa inginnya. "Nanti setelah kamu sembuh", jawab mamah Hani. "Mah, kenapa papah tak mengizinkan Rasti keluar? Apa papah malu karena kaki Rasti hanya satu?", Rasti masih penasaran dengan perlakuan papahnya. "Papahmu hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Nak. Ia ingin menjagamu", terang mamah Hani. "Tapi bukan seperti ini caranya. Aku juga butuh sosialisasi", cetus Rasti. Mamah Hani hanya bisa mengangguk tersenyum mencoba menenangkan Rasti yang mulai emosi.
Telepon rumah berbunyi. Mendengar deringnya, Rasti yang tengah memutar kursi rodanya langsung memutar arah menuju ruang tengah. Belum sempat Rasti mengangkat, suara dering berhenti. Rasti terdiam sejenak dan langsung bersiap memutar kursi rodanya kembali ke arah kamar. Tak sempat kursi roda itu berbalik arah, telepon berdering kembali. Rasti tak berpikir panjang dan langsung mengangkatnya. "Halo?", ucap Rasti. "Halo. Bisa bicara dengan Rasti?", jawab penelepon itu. "Ini...siapa ya?", tanya Rasti. "Saya Lusi, mamahnya Rasti". Mendengar jawaban penelepon bahwa ia adalah mamah Lusi, Rasti terkaget. Matanya sedikit membelalak. Pikirannya buyar. Ia bingung apakah harus senang mendengar suara mamahnya atau harus marah. Beberapa saat ia tak bisa berbicara. Rasti bingung harus bagaimana. "Halo?", suara mamah Lusi terdengar. "mamah?", tanya Rasti spontan. "Rasti? Ini kamu, Nak? Ini Mamah. Mamah kangen sekali dengan kamu. Bagaimana keadaanmu sekarang?", ucap mamah Lusi panjang lebar setelah sadar bahwa yang menjawab teleponnya adalah Rasti. "Untuk apa Mamah menelepon? Bukannya Mamah tidak lagi peduli dengan Rasti?", ketus Rasti ketika menjawab. "Rasti...", belum selesai mamahnya menjawab Rasti langsung menutup telepon tersebut. Rasti tak dapat menyembunyikan sedih hatinya. Namun ia juga menyimpan amarah yang dalam untuk mamahnya. Dengan cepat ia kembali ke kamar.
Embun di atas daun bergelantungan menyongsong segarnya pagi ini. Hijaunya pemandangan membuat pagi ini seperti terlahir kembali ke dunia. Dingin yang samar menggores kulit dengan halusnya. Hari Minggu ini membuat hati Rasti tak merasa sepi seperti biasanya. Papah dan mamahnya kini menemani dirinya di rumah. Tak ada kegiatan khusus memang di hari itu. Hanya sekadar berkumpul dan berbincang-bincang di bumbui gurauan sudah menjadi hal yang menyenangkan. "Pah, bolehkah Rasti menyampaikan sesuatu?", tiba-tiba Rasti merajuk. "Sampaikan saja, Nak", jawab ayah Rasti. "Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya Rasti meminta pada Papah. Rasti tak ingin terus-terusan di dalam rumah. Rasti tidak bisa seperti ini terus. Rasti butuh teman", Rasti menyampaikan dengan air mata meleleh di pipinya. "Sudah berapa kali Papah bilang, kamu tidak boleh keluar. Papah tidak ingin kamu diolok-olok oleh orang lain. Paham!", raut wajahnya mulai memerah. "Kalau begitu kirim saja aku ke panti asuhan!", Rasti tak bisa menahan emosinya. "Pah, Rasti benar. Dia tak mungkin terus di dalam rumah. Seharusnya kita sebagai orang tua harus membuktikan kepada semua orang kalau kita mampu membuat Rasti lebih sukses. Bukan malah membatasi dia", mamah Hani kini lebih tegas dengan sikapnya. Ia menjadi tak tega melihat Rasti terus menangis meminta perlakuan adil pada ayahnya. Seketika suasana menjadi hening. Mamah Hani kini memeluk Rasti yang menangis menahan rasa marahnya. Pak Ardi yang berkarakter keras terlihat tengah memikirkan perkataan sang istri.
"Maafkan papah, Ras. Papah egois. Papah akui, Papah sempat merasa malu mempunyai seorang anak yang keadaannya seperti kamu. Tapi, Papah juga tidak mau kalau kamu tersakiti dengan karena menjadi bahan olokan. Maafkan Papah, Nak", jelas pak Ardi. Suasana haru begitu menyerbu ruangan itu. Pak Ardi langsung memeluk Rasti. Kini kebahagiaan telah lengkap rasanya. Rasti yang jarang menyunggingkan senyumnya, sekarang hampir setiap saat tak ada waktu untuk tidak menampakan raut senyum manisnya itu. Meskipun belum bisa untuk bersekolah, Rasti sangat mensyukuri perubahan sikap sang ayah pada dirinya.
Malam ini, merupakan hari ulang tahun Rasti yang ke 17. Di hari spesial ini sang ayah dan mamah Hani tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memberikan hadiah terindah untuk sang anak. Rasti yang tengah berada di dalam kamarnya sibuk merias diri dengan dibantu oleh seorang teman dekatnya bernama Bella. Sudah hampir 5 bulan ia tak pernah bertemu dengan Rasti semenjak kecelakaan itu. Kini setelah Rasti diizinkan keluar rumah, satu per satu teman SMAnya berdatangan tak terkeculi Bella. "Semoga di hari ulang tahunmu, kamu akan mendapatkan apa yang diinginkan", ucap Bella pada Rasti setelah mendandani. Bella tersenyum lebar mendengar ucapan itu dari sahabatnya. Ia tak menyangka sahabatnya masih bisa menerima keadaan dirinya yang sekarang hanya berkaki satu. Bella langsung mendorong kursi roda milik Rasti ke ruang pesta ulang tahun.
Setibanya Rasti di tengah-tengah para sahabat yang sudah datang di ulang tahunnya, ia kembali menyunggingkan senyum manisnya. Semua orang menatapinya dengan penuh kagum. Pak Ardi dan mamah Lusi yang menunggunya juga melemparkan senyum bangga pada anaknya itu. Mata Rasti berkeliling memandangi satu per satu yang datang. Tiba-tiba di tengah ramainya orang, Rasti seperti melihat seorang wanita yang tak asing baginya. Wanita itu tersenyum pada Rasti. Rasti yang masih mencoba mengingat siapa orang tersebut tak menjawab senyumnya. Tak disangka, sambil berlari kecil wanita itu langsung menghampirinya dan langsung memeluk. Ketika wajah wanita itu tepat di hadapannya Rasti baru teringat siapa wanita itu. Ia adalah mamah Lusi. Mamah kandungnya. Dengan tangisan mamah Lusi memeluk Rasti. Rasti bingung harus bagaimana. Ia tak tahu harus merasa apa. Semua rasa bercampur aduk malam itu. Benci, sedih, senang, semua seakan menghujam hatinya. "Rasti, maafkan mamah. Mamah baru bisa menemuimu sekarang, Nak", ucap mamah Lusi. "Untuk apa, Mamah ke sini?", jawab Rasti. Mendengar kalimat tanya dari anaknya, mamah Lusi langsung melepas pelukannya dan memandangi wajah Rasti. "Mungkin ini adalah kesempatan Mamah terakhir kali untuk bertemu denganmu, Nak. Mamah harus ikut dengan suami mamah ke New Zaeland. Mamah tahu kamu marah. Tapi Mamah mohon untuk terakhir kalinya. Maafkan Mamah, Nak", terang mamah Lusi sambil menjatuhkan badannya di hadapan Rasti yang berada di kursi roda. "Semua ini salah Papah, Nak. Papah yang tak izinkan mamahmu untuk bertemu denganmu. Maafkan Papah, Nak", tiba-tiba pak Ardi memotong pembicaraan. Ia mengakui kesalahannya selama ini yang tak pernah mengizinkan anaknya bertemu dengan mamahnya setelah perceraian. "Jadi...selama ini...", belum sempat Rasti melanjutkan ucapannya ia langsung menangis tersedu dan memandang dalam mamahnya berharap mamahnya memaafkan dirinya karena kesalahpahamannya selama ini. Mamah Lusi yang seakan mengerti maksud anaknya langsung memeluk Rasti. Pelukan itu pun dibalas erat oleh Rasti. Semua orang yang datang seperti melihat seorang anak dan ibu yang lama tak bertemu namun sekarang harus berpisah kembali.
Cerpen ini menjadi cerpen keempat yang saya tulis secara tulus dalam blog ini. Semoga ketulusan yang mengiringi akan menjadi bumbu rasa dalam isi. Tak pernah terpikir untuk membuat cerpen terbaik. Hanya ingin menulis dan menulis. Maka apabila banyak kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf. Semoga penulis amatir seperti saya ini, dapat belajar dan menyandar untuk membagi tulisan pena penuh getar. Terima kasih.
Facebook 👉 Sintiya DY
Instagram 👉 sintiyadwi