Rabu, 27 Desember 2017

UAS SBM Kelas 3D PBSI TA 2017/2018

Bapak Andi, saya Sintiya Dwi Yuniati, NPM 16410158, kelas 3D PBSI. Berikut ini saya lampirkan hasil pekerjaan UAS SBM. Silakan klik link di bawah ini untuk melihat.
Media Pembelajaran (UAS SBM)

Selasa, 26 Desember 2017

Curahan Ingatan Masa Lalu

Sekelebat masa kecil di depan rumah
     Sore itu aku berada di halaman depan rumahku yang tak begitu luas. Dalam suasana pedesaan yang kuanggap masih asri, aku menyapu dedaunan kuning, coklat dari pohon rambutan yang terlihat tak lagi segar di musim buahnya. Tepat di depan rumahku, Mama dan Bapa membuat sebuah kebun kecil, mencoba untuk memanfaatkan lahan terbatas. Cabai, kunyit, terong, dan dua pohon pepaya yang sudah mulai berbuah tumbuh subur di tanah itu. Di sekeliling kebun terbatas tersebut, Mama menambahi dengan bunga-bunga hiasan yang menarik untuk menyegarkan mata. Ia rajin sekali menyirami tanaman kesayangannya itu.
     Ada sebuah hal yang mengusik batinku kala itu. Ketika aku menyapu tepat di atas tanah kebun terbatas, aku selalu melihat kelereng disana-sini. Ingatanku mulai membuka. Dahulu, di masa kecilku, kelereng adalah benda yang berharga. Bila aku tak mampu membelinya, aku harus berusaha mencarinya di tempat-tempat tertentu, seperti tempat pembuangan sampah untuk aku jadikan mainan bersama teman-teman. Entah mengapa harus di tempat itu. Namun tak dipungkiri, aku banyak menemukan kelereng di tempat itu.
     Dari pandangan yang tak sengaja menemukan kelereng, aku pun tak lepas melihat sebuah benda yang tak luput dari ingatan masa kecilku. Paku atau besi berkarat yang terdapat banyak di kebunku. Ya, benda itu. Benda tersebut sangat mengingatkanku pada perjuangan ketika masih kecil untuk mendapatkan uang jajan sendiri. Dahulu, aku dan gerombolan teman sepermainanku meluangkan waktu di sore hari atau pagi hari ketika libur sekolah untuk mencari paku atau besi bekas untuk aku jual kepada pengepul atau yang aku sebut tukang rongsok. Nilai tertinggi yang pernah aku dapatkan adalah Rp 12.000 dari besi yang aku kumpulkan. Itu pun dibagi dua dengan temanku yang sepakat untuk mengumpulkan bersama. Uang Rp 6.000 sangatlah berharga di zamanku, ketika aku masih sekolah dasar.
     Dari cerita singkat tadi aku merasakan suatu kemirisan ketika melihat dua benda tersebut. Kini rasanya benda-benda itu tak ada harganya dan tak ternilai, sedangkan dulu bagiku, hal itu sangat berharga. Aku hanya menatap diam benda itu. Tak aku sentuh sedikitpun dengan fisikku. Tapi kalbu ini tersentuh akan ingatan masa kecilku.

Jumat, 22 Desember 2017

Cerpen akhir tahun

Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Semarang

                               BIRU

     Alunan lagu melow terus mendengung di telinga. Tangga nada lagu terus menari-nari di atas kepalanya sedang pulpen hitam terus dimainkan di genggaman tangan. Kali ini otaknya tak bisa diajak berimajiniasi untuk menyuarakan apapun. Bahkan, lantunan musik kesukaan yang didengar tak bisa membantu dirinya menuliskan satupun huruf di atas kertas yang berada tepat di depannya. Hari itu seperti bukan hari miliknya. Lirik matanya mulai berpindah ke arah laptop putih yang masih tertutup. Tanpa pikir panjang, perempuan bernama Shofia ini langsung meletakkan pulpen dan melepas headset dari telinganya. Diambilah leptop itu dan langsung dibuka. Jari jemari yang lentik langsung menelusuri keyboard laptop. Perempuan berumur 22 tahun yang tengah menempuh kuliah di jurusan Sastra Indonesia ini seperti mendapat ide seketika itu. Kata demi kata lancar terketik dari jarinya. Namun, baru delapan kalimat terancang, jarinya menekan tombol delete. Semua kalimat langsung terhapus di layar leptop. Sofhia langsung menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan sedikit hentakan. Dengan kedua tangan masih berada di atas meja, ia menghela nafas panjang.
     Lima menit berlalu dan Shofia masih terdiam. Tak berapa lama sebuah pemberitahuan email muncul dan mengalihkan pikiran Shofia. Perempuan penyuka bunga mawar itu langsung membuka email tersebut. "Jangan lupa! Tanggal 5 Desember ada event pertemuan penulis seluruh Indonesia di Palembang. Kalau kamu bisa datang, pasti sungguh luar biasa. Bukan hanya pengalaman saja yang kamu bisa dapatkan dari para penulis hebat di sini. Kakak akan menepati janji, mengajak keliling kamu di tempat yang Kakak anggap bagus untuk menciptakan imajinasi dalam menulis. Kakak tunggu ya!", tulis sebuah email masuk dari Yonif. Bibir tipis Shofia mulai memperlihatkan senyum kecil. Raut wajahnya berubah kemerahan. Ia tak menyangka akan mendapatkan email dari Yonif Efendi teman yang baru dikenalnya 1 tahun yang lalu. Shofia mengenal Yonif di salah satu seminar kepenulisan di Yogyakarta. Kala itu, mereka sama-sama menjadi peserta seminar. Yonif yang berasal dari Palembang begitu mempesona hati Shofia sejak pertama kali bertemu. Lelaki berkulit sawo matang dengan pawakan yang tinggi dan mata sedikit sipit, telah mengambil sebagian perhatian perempuan dengan hobi menulis ini. Namun selama perkenalannya, Shofia tak berpikir mengungkapkan sedikitpun mengenai perasannya.
     Udara pagi Yogyakarta memang tak bisa diragukan kemurniannya. Pepohonan dengan daun hijau yang mengguggurkan daun kekuningannya menambah dramatis pagi itu. Secangkir kopi susu dengan bekas minum di pinggirannya terlihat masih mengepulkan asap. Semerbak harum kopi menelusuri indra penciuman Shofia. Sesekali ia menyeruput kopinya sembari membaca sebuah novel Api Tauhid karya Habiburahman El-Sirazy. Novel yang didapatnya melalui pameran buku yang didatanginya di daerah Sleman dua bulan yang lalu. Dan manisnya, ia baru bisa membacanya pagi itu karena kesibukan kuliah. Bukan hanya karena kesibukan yang menjadikan Shofia baru membaca novel mahsyur itu. Novel bergenre romantis religi bukanlah tipe bacaannya. Ia lebih minat dengan Novel bergenre fantasi. Baginya buku-buku beraroma romantis hanya membuat cengeng sedangkan buku fantasi dapat membuat imajinasinya semakin terasah. Namun, sejak pertemuannya dengan Yonif, minatnya mulai bergeser. Ia merelakan pikiran kolotnya yang hanya mau membaca novel fantasi tergerus demi membaca karya yang juga dibaca oleh seorang yang ia kagumi.
     Detak jarum jam terus menggema di telinga gadis berkulit putih itu. Rasanya minggu-minggu ini adalah minggu-minggu dimana Shofia kerap memperhitungkan waktu. Detik, menit, jam, bahkan hari selalu dirasakannya dengan sepenuh hati. Tepat tiga hari menuju event pertemuan penulis se-Indonesia di Palembang, ia tampak gelisah. Pikirannya tak tenang. Tak dapat terbayangkan bila ia dapat berjumpa secara langsung dengan para penulis hebat. Para penulis yang selalu memuntahkan ide jenius. Yang muntahannya bisa dimakan oleh siapapun dengan naluri, imajinasi, dan kreasi. Dan bonus dari semua itu adalah bertemu dengan orang yang ia kagumi. Yonif Efendi. Lelaki berdarah asli Sumatera Selatan yang begitu memikat hati Shofia selama ini. Lelaki sederhana dengan lesung di pipi kanannya, seakan membius segala persepsi lelaki di hati Arumi. Semua berubah karena satu lelaki itu.
     Tanggal 5 Desember. Shofia panik dengan semua yang ada di sampingnya. Sesekali mengecek barang bawaan. Namun terus diulangnya sampai teman kos yang melihatnya geram gemas. "Kau mau ke bandara atau terminal, Rum? Lihatlah jam, sudah pukul berapa ini! Jangan kau cek terus barang-barangmu!", jelas Tata dengan logat Malukunya. Lantas Shofia langsung melihat jam tangannya. Matanya membelalak sadar akan waktu yang telah ia buang. "Ta! Antarkan aku ke bandara sekarang pakai motorku!", lugas Shofia pada temannya sedikit teriak. "Aku belum mandi", sahut Tata. "Cepatlah, aku bisa terlambat", panik Shofia. Tata yang masih menyelempangkan handuk mandinya di bahu langsung melempar handuk tersebut ke dalam kamar.
     Dalam perjalanan, Shofia terus menepuk-nepuk bahu Tata memerintahkan agar mempercepat laju motornya. Mereka seakan maling yang tengah dikejar warga. Pikiran Shofia buyar. Ia khawatir tak bisa mengejar waktu untuk sampai di bandara dan tertinggal pesawat. Namun, sesekali Shofia juga membayangkan ketika nanti bertemu lelaki yang dikaguminya di bandara. Yonif memang telah berjanji akan menjemput kedatangan Shofia di bandara.
     Semua manusia dengan jenis sepatu, baju, rambut, serta gaya berjalan, berlarian ke sana ke mari. Semua badan berpencar mencari tujuan dan kesibukannya masing-masing. Beberapa keluarga melepas rindu dengan haru, beberapa orang keluar tanpa penunggu. Manusia berseragam terlihat sangat sibuk dengan bagiannya masing-masing. Ada yang sibuk memfoto diri dengan asyiknya, dengan wibawa seragam ekspresi itu dapat terbaca.
     Shofia masih saja sibuk dengan barang bawaan yang terlihat malah merepotkan dirinya. Lambaian tangan lentik milik gadis itu mencoba memberi salam terakhir pada sahabat yang baik hati rela mengantar dirinya ke bandara. Bingung, gelisah, dan resah. Perasaan pertama kali menaiki pesawat sungguh mengguncang pengalaman Shofia. Rasa katrok yang hanya dimiliki mahasiswa sekelas Shofia. Ah, aku pun manusia biasa dengan sedikit nyali, pikir Arumi mencoba menenanangkan dirinya.
     Kelas ekonomi sekelas pesawat bagi Shofia adalah hal yang luar biasa. Deg-degan pun tak terelakan. Matanya terus mengelilingi keadaan dalam pesawat. Sesekali melihat pramugari cantik dengan pakaian rapi menempel di tubuh. Ingatannya mulai membuka ketika dahulu seorang guru menanya cita-cita dirinya. Pramugari adalah jawaban Shofia. Entah tulus dari hati atau hanya sekadar ilusi, ia menjawab pertanyaan tadi. Kalau saja ia merealisasikan cita-cita ketika itu, mungkin sekarang bukanlah kali pertama ia menaiki burung besi. Entahlah, Tuhan berkata lain.
     Sedikit kebingungan Shofia memasuki bandara. Ke sana ke mari ia terus bertanya. Sesekali ia mengikuti penumpang lain untuk menuju pintu keluar. Berhentilah Shofia di sebuah bangku panjang yang ada di dalam bandara. Ia mengambil teleponnya mencoba mengecek apakah Yonif menghubungi dirinya. Benar saja, baru ia membuka kata sandi teleponnya sebuah pesan muncul. "Hari ini begitu cerah. Karenanya aku memakai baju biru langit. Aku ada di belakangmu", tulis pesan tersebut. Shofia kaget dan langsung menoleh ke arah belakang. Namun, ia tak melihat Yonif. Beberapa yang melewatinya memakai baju biru langit, tetapi Shofia yakin tidak ada satu pun seorang Yonif yang ia kenal.
     Hela nafas keluh terlihat pada Shofia. Ia seakan takut yang dibarengi rasa kecewa. Matanya terus mencari baju biru langit itu. Tiba-tiba dari arah samping seorang laki-laki menyapanya. "Shofia?", sapa laki-laki yang ternyata Yonif. "Kak Yonif?", sambut Shofia lega dengan senyum mengembang di bibirnya. Senyum bahagia itu seketika mengerucut melihat tangan lelaki yang dikaguminya menggandeng tangan seorang perempuan di belakangnya. Perempuan berjilbab yang juga mengenakan baju biru laut. Mata Shofia memandang sendu di antara mereka berdua. Rasa ingin bertanyanya terkalahkan dengan rasa takutnya akan jawaban dari Yonif. "Perkenalkan, Shof. Namanya Nur Annisa. Dia istri saya. Kami menikah 2 bulan yang lalu", jelas Yonif. Shofia kesal tapi tak bisa mencurahkan. Shofia marah namun tak bisa membuka amarah. Shofia kecewa namun tak bisa apa-apa.

Selesai

Cerpen ini ditulis sebagai salah satu wujud bahwa sebuah ide muncul dari berbagai sumber. Nama-nama dalam cerpen di atas diambil dari nama-nama teman instagram yang tentunya sungguh luar biasa. Penulisan ini semata-mata sebagai motivasi agar penulis semangat dalam menuangkan ide. Mohon maaf apabila nama yang tercantum kurang berkenan, silakan menghubungi penulis agar dapat menggantinya segera. Jazakumullahu khairan. Terima kasih telah membaca 😊

Jumat, 24 November 2017

UTS_PBSI_3D

Klik di sini untuk melihat media pembelajaran mengenai pendidikan karakter kaitannya dengan implementasi dalam menggunakan sosial media

Rabu, 11 Oktober 2017

Contoh Paragraf Berdasarkan Jenis

Narasi
1. Dari kabar yang baru saja diterima sore tadi, ibu dan adik terlihat sangat bahagia. Senyum mereka mengembang dengan cantiknya. Sembari menata ruangan, ibu dan adik sesekali menengok keluar rumah. Penantian seorang istri dan anak selama 7 tahun kini akan berakhir. Dalam beberapa jam sang suami sekaligus ayah akan tiba untuk melepas rindu.
2. Kebakaran yang terjadi di perumahan elit Graha Unik tak menimbulkan korban jiwa. Para pemilik rumah hanya mengalami luka ringan. Tim pemadam kebakaran yang datang setengah jam setelah kebakaran pun, berhasil menjinakan si jago merah. Setelah di teliti, kebakaran yang terjadi pada hari Jumat, 5 Agustus 2017 itu, timbul akibat arus pendek listrik pada salah satu rumah.
3. Pengajian yang diadakan oleh remaja islam Masjid Agung Jawa Tengah atau yang biasa disebut Risma-JT, berhasil menuai rekor muri. Dengan jumlah jama'ah 500.000, Masjid Agung Jawa Tengah dipadati ribuan manusia pada hari Rabu. Panitia yang melayani pun sempat kekurangan persediaan makanan untuk para jama'ah. Namun, 2 jam setelah itu, mereka langsung memenuhi persediaan dengan membeli pada pedagang yang berada di depan masjid.

Deskripsi
1. Lawang sewu terletak tepat di depan taman Tugu Muda Semarang. Merupakan lokasi yang strategis karena berada di tengah  kota. Gedung penuh sejarah dengan banyaknya pintu yang tak genap seribu itu, selalu menarik perhatian wisatawan. Lingkungan yang bersih dan sejuknya pemandangan, menjadi daya tarik sendiri.
2. Dengan gaun pengantin putih, ia duduk bersama mempelai pria. Gaun dengan renda merah jambu nampak pas di badannya. Bagian belakang gaun yang menjuntai panjang sempat dirapikan bersama sang suami. Ditambah riasan pengantin yang sederhana membuat wajahnya berseri-seri.
3. Malam ini adik tak seperti biasanya. Wajahnya muram setelah beradu argumentasi dengan ayah. Gigi gerahamnya beradu tanda emosi. Sorotan matanya tajam seperti ingin menerkam. Tangannya mengepal dengan kuatnya. Dengan tak sadar, tangannya memukul-mukul pagar rumah yang terbuat dari kayu.

Eksposisi
1. Kemacetan di jalan Gajah Raya hampir setiap hari terjadi. Hal tersebut dikarenakan jalan yang terlalu sempit. Kemacetan dapat dihindari apabila ada buka tutup jalur menuju jalan tersebut. Dan yang terpenting adalah adanya tindakan koordinasi dari kepolisian dalam mengatur lalu lintas. Sedangkan di sisi lain, para pengendara motor agaknya lebih sadar dengan kepadatan lalu lintas, sehingga tak selalu menggunakan kendaraan ketika menempuh perjalanan dekat.
2. Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah. Dalam kemajuan kotanya, ada satu hal yang membuat dada ini terenyuh. Trotoar jalan yang kini tertutup oleh pedagang-pedagang pinggiran dan parkiran-parkiran ilegal, membuat para pejalan kaki  tersisih. Seharusnya ada tindakan tegas baik dari pemerintah kota maupun petugas yang biasa menangani masalah tersebut. Trotoar adalah hak pejalan kaki yang harus dipenuhi. Maka tak ada alasan untuk mengambil apa yang telah menjadi hak pribadi.
3. Banyak anak-anak di bawah umur berkeliaran di jalan raya menggunakan sepeda motor. Sebagai madarasah pertama, seharusnya orang tua lebih peduli akan sikap tegas yang ditanamkan kepada anaknya. Bukan hanya masalah moral atau nilai disiplin, melainkan keselamatan jiwa yang menjadi taruhan. Namun, seperti tak peduli, banyak orang tua yang lebih menekankan pada gaya hidup dibanding kebutuhan utama anak.

Argumentasi
1. Dengan adanya tong sampah yang dapat membuka secara otomatis, para siswa SMA N 1 Semarang menjadi lebih peka terhadap kebersihan lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dari taman-taman dan ruangan-ruangan di sekolah yang bersih tanpa sampah. Para siswa pun mengaku, bahwa tong sampah yang dapat membuka secara otomatis ini telah meningkatkan kedisiplinan mereka dalam menjaga lingkungan terutama di sekolah.
2. Seiring dengan diberlakukannya E-Tilang atau elektronik tilang menggunakan CCTV, pelanggaran yang terjadi semakin menurun. Dalam wawancara yang dilakukan, para polisi pun mengaku, mereka sangat jarang menemukan pelanggaran yang biasa dilakukan oleh pengendara motor maupun mobil. Hal itu karena penggunaan CCTV lebih akurat dalam menilai sebuah pelanggaran, sehingga tidak ada yang saling dirugikan.
3. Tanaman kumis kucing telah digunakan masyarakat sebagai obat yang dipercaya dapat menurunkan darah tinggi atau hipertensi. Hal itu terbukti dari penelitian yang menjelaskan adanya kandungan senyawa kimia yang berkhasiat untuk berbagai pengobatan. Mengingat banyaknya manfaat dari tanaman ini, banyak sekali orang menggunakannya sebagai pengobatan tradisional atau herbal. Bahkan mereka membudidayakannya di pekarangan rumah.

Persuasi
1. Kebersihan lingkungan bukanlah tanggung jawab pekerja kebersihan saja, melainkan tanggung jawab kita semua. Kalau bukan kita lalu siapa? Kalau bukan sekarang lalu kapan? Mari kita bentuk pribadi bersih dari diri sendiri. Mari kita ciptakan generasi penerus bangsa yang peduli dengan lingkungan. Bumi adalah rumah kita dan langit adalah atapnya. Maka jagalah kebersihan rumah kita dengan penuh kesadaran.
2. Ilmu merupakan bekal untuk menghadapi masa depan. Dengan ilmu, kita bisa! Dengan ilmu kita mampu! Ciptakan masa depan cemerlangmu dengan ilmu. Buatlah masa depanmu indah bersama ilmu. Tak ada rugi menuntut ilmu. Selama nyawa masih bersama badan, kejarlah sekencang-kencangnya ilmu itu. Bersama ilmu kita padu.
3. Hutan menjadi salah satu penyumbang besar dalam keberlangsungan kehidupan. Sebagai pembentuk oksigen dan penyerap air, hutan bukanlah sesuatu yang sepele. Namun, banyak masyarakat belum menyadari hal tersebut. Banyaknya kebakaran hutan menjadi bukti. Bagaimana dengan nasib anak cucu kita nanti? Masihkah ada penyumbang oksigen di bumi ini? Mari wariskan anak cucu kita dengan menjaga hutan. Tunjukan pada mereka bahwa kita bukanlah seorang perusak.

Minggu, 25 Juni 2017

New mini Cerpen

Tangis
By: Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Semarang

     Tepat dihari kemerdekaan, di mana kebanyakan orang merayakan dengan penuh suka cita, tanda bahagia. Semua larut dengan warna-warni air dalam plastik es yang digantung di ranting-ranting pohon. Kecuali rumah Renita seorang mahasiswa hukum dan adiknya Fika. Polos tak berhias dan tak tercium bau kebahagiaan. Rasanya, tak bergairah hari itu Renita maupun adiknya, Fika untuk beranjak menghias rumah seperti tahun-tahun biasanya. Rasa tak bergairah itu, semakin berlanjut kala pagi menjelang. Renita yang akrab dipanggil Reni dan Fika tengah mempersiapkan sarapan pagi bersama mamahnya. Reni yang lebih dekat dengan mamahnya, merasakan ada sesuatu yang aneh pada mamahnya. Ia tak melihat sosok ceria dan penuh tawa yang selalu menghiasi lingkar wajah mamahnya. Ingin sekali ia menanyakan apa gerangan yang terjadi, namun kata itu tak sampai di mulutnya. Suasana rumah kini berbeda. Seakan-akan semua orang, baik Reni, Fika, maupun Mamah Yuli merasakan hal yang sama. Fika yang biasanya ceria tak nyaman dengan keadaan itu. Ia berhenti sejenak dari pekerjaannya mengelap meja makan, matanya melirik ke arah luar melewati jendela dengan dua daun jendela yang terbuka. "Tahun ini tak seperti tahun-tahun biasanya. Kita selalu jalan-jalan dan bersenang-senang. Tapi, kenapa hari ini tidak ada rencana keluar, dan bahkan sepi seperti ini", ucap Fika tiba-tiba dengan wajah datar yang masih mengarahkan dirinya ke arah jendela. Entah apa yang dipikirkan Fika kala itu. Dengan polosnya, kata-kata itu keluar lancar dari tenggorokannya. Mamah Yuli dan Reni langsung menghentikan aktivitasnya saat itu pula. Pandangan mengarah ke arah Fika. Entah mengapa, mamah Yuli langsung bergegas pergi menuju ke kamarnya. Suasana semakin hening, tak ada suara sedikitpun. Fika masih menatap ke arah jendela dan sang kakak, Reni menatapi mamahnya mengikuti langkahnya pergi sampai pintu kamar tertutup rapat.
     Reni sebagai kakak merasa tak punya daya. Ia merasa kali ini dirinya tak dapat berbuat apa-apa. Badannya kaku seperti ada yang mengikat tubuhnya, mulutnya membisu seperti ada yang menyumpal mulutnya. Namun, dalam hatinya berteriaklah ia sekeras-kerasnya. Ada apa hari ini? Kenapa dengan keluarga ini? Tanyanya keras dalam hati.
     Hampir 7 menit ruangan itu seperti rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya. Sayup-sayup terdengar bunyi terompet dan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan anak-anak tentangga dengan polosnya. Cuaca di luar yang panas tak mempengaruhi keadaan. Semua bersikap dingin, diam satu sama lain. Dari beberapa menit berdirinya, dengan pelan, Fika menjatuhkan badannya di atas sebuah kursi yang tepat berada di belakangnya. Wajahnya tak berpaling, seakan ada sesuatu yang membuatnya tertarik dengan keadaan di luar lewat jendela itu. Tatapannya kosong, namun air mata meleleh dari mata ovalnya itu. Perempuan SMA itu seperti tak sadar akan tangisnya.
     Tatapan Reni teralihkan dengan gerakan Fika. Ia menatap ke arah adiknya. Fika menyadari adiknya menangis. Ia tak menghampiri Fika, karena ia tahu hatinya tak sekuat adiknya. Namun, tak kuat hati melihat adik kandungnya menangis sendiri, dengan cepat Reni berlari menghampiri Fika dan langsung memeluk adiknya dari belakang. Air mata mereka berdua beradu seakan-akan mereka berlomba-lomba untuk mengeluarkan air mata yang merupakan kesedihan itu. "Maafkan Kakak, Fik. Kakak tak bisa sekuat kamu. Berdo'alah agar hal ini tak terjadi pada kita kelak", jelas Reni dengan tangisnya yang semakin memecah. "Kita tak boleh seperti ini, Kak", jawab Fika singkat sembari menguatkan pelukannya pada sang kakak.
     Tak lama setelah menenangkan adiknya, terpikir oleh Reni akan sang mamah. Tak ada tanda-tanda mamahnya akan keluar dari kamar, membuat hatinya mengarahkan perhatian ke kamar itu. Dengan pelan Reni melepaskan pelukan dari adiknya. Dengan langkah pelan ia menuju kamar mamahnya. Tepat delapan langkah Reni menginjakan kakiknya di depan daun pintu, tak terdengar suara dari dalam kamar. Reni mengetuk pintu kamar dengan tiga kali ketukan yang lemah. Matanya menuju ke arah gagang pintu, seakan menunggu gagang tersebut bergerak ke bawah tanda dibukakan pintu oleh sang mamah. Satu menit ia terdiam tanpa sepatah kata pun. Akhirnya ia menggerakan tangannya ke arah gagang pintu, dan langsung membuka pintu itu. Sadar tak terkunci, ia langsung membukanya. Matanya langsung berkeliling mencari keberadaan mamahnya. Di depan jendela kamar, ia mendapati mamahnya tergeletak dengan darah mengalir dari pergelangan tangannya. Matanya membelalak, tak percaya apa yang dilihatnya. "Mamaaah...", dengan sekuat tenaga ia menghampiri mamahnya sembari berteriak diiringi tangis. Reni tersungkur, mencoba membangunkan mamahnya. Dari tangan mamahnya ia mendapati kertas yang terlihat masih basah tintanya. Fika yang sedari tadi duduk terdiam langsung menuju ke arah kamar. Dari daun pintu, matanya langsung menemukan tubuh sang mamah yang tergeletak. Air matanya langsung tumpah tak terbendung.
     Malam kini hening, senyap, dan tak bersahabat. "Mamah telah tenang menyusul Papah. Tinggal kita, Kak", ucap Fika dengan wajah penuh haru sembari memeluk foto keluarga. Di depannya, sang kakak, Reni menangis tersedu-sedu tak kuat menahan rasa sedih yang tengah menimpa dirinya. Ia tak menjawab ataupun menimpal balik perkataan adiknya, hanya tangisan yang kian menguat seakan mewakili jawaban hatinya.
     Ayah Reni dan Fika yang biasa dipanggilnya ayah meninggal satu tahun yang lalu. Ayahnya meninggal akibat serangan jantung mendadak, setelah melihat dengan mata kepala sendiri istrinya yang tak lain merupakan mamah Yuli selingkuh dengan rekan kerjanya. Kejadian itu tepat di hari kemerdekaan dan hal tersebut disaksikan pula oleh Reni dan Fika. Setelah kejadian itu, Reni dan Fika hampir tak pernah menegur mamahnya. Mereka seperti tak terima ayah yang mereka sayangi meninggal akibat perselingkuhan mamahnya sendiri. Bahkan Fika, sempat tak menganggap mamahnya itu sebagai mamah kandungnya. Selama itu pun mamah Yuli menjadi seorang yang pendiam dan penyendiri. Ia merasa hidupnya tak lagi berarti. Bahkan ia merasa jijik dengan dirinya.
     Tangis Reni mulai mengecil. Ia menjadi teringat kertas berisi tulisan yang terakhir dipegang sang mamah. Reni menuju sebuah lemari dan membuka laci kecil yang ada di dalamnya. Langsung ia mengambil kertas itu dan membacanya sembari menempatkan diri di sebelah sang adik. "teruntuk anak-anakku tersayang, Reni dan Fika. Aku tahu aku bukanlah mamah yang baik untuk kalian. Bahkan rasanya tak pantas bila aku dipanggil mamah. Aku malu, aku malu pada diri ini yang sudah merenggut kebahagiaan kalian, yang sudah membuat kalian tersiksa dengan keadaan yang ada. Reni, mamah tahu kau anak yang kuat. Jagalah adikmu, Fika. Untuk Fika, jadilah anak yang pintar. Maafkan mamah nak. Mamah sayang kalian. Salam terakhir dari Mamah", tangis Reni muali pecah. Kertas itu ia berikan pada Fika, dan langsung ia membacanya. Reni dan Fika berpelukan erat. Tangis mereka bersautan satu sama lain. Kertas itu adalah surat terakhir dari sang mamah.

Puisi Kenangan

Lampau
By: Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Srmarang

Di ujung daun  pintu ini diriku menerka gelap
Mencari cahaya diantara samar pandangan
Titik-titik cahaya berpendar dari jauh
Tak adakah satu yang mampu kuraih
Untukmu, untuknya, atau untukku

Kiri kanan tak ada beda rupa suasana
Dedaunan hijau berubah gelap mengikuti malam
Menutupi sorot cahaya yang mencoba menerobos barisan
Membentuk lingkaran kecil tak tahu asal

kini hitam putih menggelayut dipelupuk
Suara abstrak manusia mengiringi hening malam
Adakah masih seperti lampau
Ketika semua tubuh kecil berlarian mencari tubuh kecil lainnya
Adakah masih seperti lampau
Ketika ada rumah rumah kecil dari terpal seadanya dengan rangka bambunya yang sederhana

Tergerus sudah masa penuh dengan tawa canda
Melalui alur waktu, hilang hanya tinggal tulisan pena dan kenangan tak berbicara
Mungkinkah akan kembali dan terulangi

Minggu, 07 Mei 2017

Prosa

Sintiya Dwi Yuniati
16410158
2 D ( PBSI )
Menganalisis unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami dengan menggunakan teori Robert Stanton
1. Tema
Seorang kakek yang terlibat dalam pergulatan batinnya mengenai apa yang dilakukannya di dunia setelah mendengar bualan dari Ajo Sidi. Hal ini tergambar pada penggalan:
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah subhanahu wata'ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah tuhan kalau itu yang kulakukan sangkamu?"

2. Fakta Cerita
a. Alur
Alur dari cerpen "Robohnya Surau Kami" menggunakan alur sorot balik. Hal ini dapat terlihat dalam penggalan cerita berikut :
"Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar"
"Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggalah surau itu tanpa penjaganya"
"Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatanga Ajo Sidi kepadanya"

b. Karakter
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, terdapat beberapa karakter yang muncul secara intens, seperti : tokoh utama yaitu Ajo Sidi. Mengapa ia disebut tokoh utama? Karena tokoh Ajo Sidi mempengaruhi jalannya cerita dan adanya konflik akibat kemunculannya. Ia merupakan tokoh yang mempunyai karakter tukang bual, suka mempengaruhi orang lain, dan tidak bertanggung jawab. Hal tersebut dapat terlihat dari :
...Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu.
Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari.
...Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab.
Sedangkan tokoh bawahan yaitu Kakek yang mempunyai karakter mudah percaya dengan perkataan orang lain, egois, dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Hal ini dapat dibuktikan melalui penggalan cerpen, yaitu :
“…Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca kitabnya…”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya”
Haji Saleh mempunyai karakter yang sombong, egois dan memprovokatori. Hal itu dapat terlihat dari :
“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu”
“…Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga”

c. Setting (latar)
a. Latar tempat
• Surau tua disebuah kampung, dekat pasar. Berikut bukti penggalan:
"....Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti Tuan akan temui sebuah surau tua..."
• Di akhirat, di neraka
Pada suatu waktu Ajo Sidi memulai. "Di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang"
"...Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka..."
• Di rumah tokoh Aku
"Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi"
• Di rumah Ajo Sidi
"Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya"
b. Latar waktu
• Beberapa tahun yang lalu. Berikut bukti penggalan:
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.
• Malam hari
Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
• Sekali hari
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek.
• Pagi-pagi
"Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi
• Subuh
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya..."
c. Latar suasana
• Suasana begitu religius. Hal tersebut digambarkan melalui:
Dan dipelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat.
• Tegang
Tak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka.
• Mengerikan
“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur”
• Memprihatinkan
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-jumat.

3. Sarana Cerita
a. Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter, latar, dan tema. Dalam analisis kali ini, cerpen berjudul Robohnya Surau Kami. Judul tersebut menggambarkan mengenai seorang Kakek yang sangat taat dalam beribadah namun karena taatnya ia lalai dengan keluarganya. Hal itu disadarinya ketika seorang bernama Ajo Sidi memberikan bualan padanya mengenai cerita yang sama seperti hidupnya. Yang dimaksud roboh disini bukan karena surau tua yang ditinggalkan Kakek, tetapi lebih kepada keyakinan yang runtuh.
b. Gaya (style)
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah „tone‟. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan (Stanton, 2007:63). Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, tone dapat terlihat melalui majas-majas yang terlihat seperti majas alegori, yaitu majas yang memepertautkan satu hal atau kejadian lain dalam satu kesatuan yang utuh. Contohnya dalam judulnya yaitu Robohnya Surau Kami. Yang dimaksud roboh yaitu bukan hanya surau yang tua akibat terbengkalai tetapi juga keyakinan sang kakek. Kemudian majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini. Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi….”.
c. Sudut pandang
Sudut pandang dalam cerpen ini yaitu orang pertama-utama. Karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami adalah tokoh Aku. Hal tersebut karena tokoh Aku merupakan tokoh yang mengetahui semua jalannya cerita. Hal ini dapat terlihat dari :
Sekali hari aku datang pula mengupah kakek.
…Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu.
“Tiba-tiba aku ingat lagi pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya”
d. Simbolisme
Simbol yang terdapat dalam cerpen ini adalah terdapat dalam judulnya yaitu Robohnya Surau Kami. Cerpen ini menceritakan seorang kakek yang menjadi garin di sebuah surau tua. Ia sangat taat dalam ibadahnya. Namun dalam ketaatannya dalam beribadah ia dihantui rasa khawatir akibat bualan Ajo Sidi yang membual kepada kakek mengenai Haji Saleh yang masuk neraka akibat terlalu taat dalam ibadah tetapi melalaikan keluarganya. Akibat hal tersebut, sang kakek meninggal bunuh diri. Dari inti cerita tersebut yang dianggap roboh yaitu bukan hanya surau melainkan keyakinan seseorang dalam ibadahnya.
e. Ironi
Dalam cerpen ini sangat jelas tergambar ironi yang ada. Yaitu seorang kakek, Haji Saleh, dan teman-temannya yang berada di akhirat sudah meyakini bahwa dirinya akan masuk surga karena ketaatan mereka dalam beribadah. Namun ketika di pengadilan akhirat ternyata mereka di masukkan ke dalam neraka akibat kesombongan, kealaian mereka menelantarkan keluarga dan tak memanfaatkan tanah tempat tinggalnya yang subur.

Sabtu, 06 Mei 2017

Ngopi Puisi bersama Setia Naka Andrian

            Penikmat Ngopi bukan Kopi

     Ngopi Puisi memang tak asing lagi bagi mahasiswa UPGRIS. Kegiatan seni yang diadakan mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini, merupakan agenda rutin yang terus diselenggarakan. Kegiatan yang berisi uraian sastra dari para sastrawan yang tak diragukan lagi karyanya membuat acara Ngopi Puisi menjadi semakin menarik dan energik. Tak hanya mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia saja yang dapat menghadiri acara tersebut, semua program studi pun bisa datang bahkan dari luar kampus di izinkan asal sopan tentunya.
     Mengapa disebut Ngopi Puisi? Hal tersebut karena dalam acara itu, kita bukan hanya diajak untuk menikmati puisi-puisi ataupun pembuatan-pembuatan puisi yang memang diadakan. Kita juga disuguhi kopi dan cemilan sederhana seperti kacang rebus, singkong rebus, dan pisang rebus. Jajanan yang tak mewah tetapi megah bagi penikmatnya.
     Malam Jumat itu, Setia Naka Andrian yang merupakan sastrawan muda sekaligus dosen di UPGRIS, mengisi acara dengan apiknya. Dengan kaos polos merah yang bertuliskan "Sastrawan mana yang tak romantis?" mendukung suasana dan uraiannya mengenai puisi yang dijelaskan. Logat bicaranya yang seakan-akan sedang membaca puisi sembari menjelaskan bagaimana puisi tersebut membuat orang awam yang baru pertama kali melihat mungkin merasakan kebingungan. Namun, disitulah letak keunikannya.
     Memanglah tak banyak yang saya dapatkan malam itu dalam Ngopi Puisi. Saya hanya mencoba menikmati suasana santai yang disuguhkan pada kesempatan kala itu. Suasana malam Jumat dengan alunan puisi yang dibacakan oleh beberapa mahasiswa dengan mantap dalam dirinya berdiri di depan dan membacakan sajak-sajak apik para saatrawan. Acara ringan sebagai olah raga bagi tubuh yang jarang dialiri seni ini, sangat memberi manfaat bagi saya.
     Dengan diselingi kuis-kuis kecil dengan hadiah tak besar menjadi salah satu daya tarik. Acara Ngopi Puisi ini juga dapat dijadikan ajang perkumpulan mahasiswa yang haus akan seni. Mereka dapat bertukar pikiran dengan santainya. Tak jarang jenaka-jenaka dilontarkan pembawa acara untuk memeriahkan dinginnya malam.
     Diselenggarakannya acara ini secara rutin semoga dapat menambah wawasan bagi mahasiswa. Dapat menjadi penikmat yang berbakat. Artinya bukan hanya penikmat biasa melainkan dapat menghasilkan karya-karya luar biasa setelah menjadi penikmat tadi. Tak ada hasil bila tak ada usaha. Maka berusahalah.

Rabu, 26 April 2017

Cerpen dengan Tema HAM

                               Kembali
                    ( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
              Universitas PGRI Semarang

     Malam ini rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Rasti. Sambil menggigit bibir bawahnya ia seperti orang yang kebingungan. Pensil di tangannya digerakkannya ke sana ke mari tak mengerti maksud dan tujuannya. Kamar berukuran tiga kali empat meter itu seperti tak berpenghuni. Hanya ada detak jarum jam yang berdenting mengikuti waktu yang selalu berjalan tanpa perintah. Kasur dengan sprei warna pink terlihat berantakan penuh dengan bantal, buku, dan boneka minion yang terlihat sudah lusuh. Rasti masih duduk dengan seriusnya tanpa merubah posisinya dari semula. Kertas putih di atas meja di hadapannya masih bersih tanpa coretan. Ia seperti sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk ditulisnya dalam kertas itu. Sinar rembulan yang masuk ke dalam kamar menerobos korden putih seakan menerawang apa yang sedang terjadi dalam kamar tersebut. Sampai jarum jam pendek mengarahkan dirinya menuju angka 9, Rasti tak kunjung pindah dari posisinya. Tiba-tiba suara pesan masuk terdengar dari atas kasur. "Sayang, jaga kesehatanmu. Mama akan selalu merindukanmu dan mendoakan yang terbaik untukmu", pesan itu membuat Rasti berdiri dari duduknya. Sesaat setelah membaca pesan itu, Rasti langsung membaringkan badannya di atas kasurnya. Barang-barang yang masih di atas kasur tak dihiraukannya. Tak pernah terbesit dalam dirinya untuk membalas pesan dari mamanya. Semenjak perceraian orang tuanya, Rasti sedikit berubah dari sikap biasanya. Ia menjadi pendiam. Kini Rasti tinggal bersama ayahnya yang biasa dipanggilnya papah. Namun Rasti tak pernah merasa ia mendapatkan kasih sayang baik dari ayahnya atau pun mamanya.
     Setelah semua tugas kelompok selesai, Rasti dan temannya mulai berkemas meninggalkan sekolah dengan kendaraannya masing-masing. Rasti yang biasanya menunggu jemputan dari supir pribadinya terlihat berdiri di depan gerbang sembari memegang handphone miliknya. "Pak, tidak usah jemput Rasti. Rasti ada acara di luar", ketik Rasti dalam handphone-nya yang ditujukan untuk Pak Joko, supir pribadinya. Pak Joko merupakan supir keluarga ayah Rasti yang sudah bekerja selama 5 tahun. Namun, setelah percerian orang tua Rasti, Pak Joko hanya ditugaskan untuk mengantar jemput Rasti kemana pun ia pergi. Sosok yang sederhana, perhatian, dengan jenggot dan kumis yang tipis membuat Rasti lebih dekat dengan supir pribadinya dibanding dengan ayahnya sendiri. Tak jarang tugas yang seharusnya dilakukan seorang ayah terkadang digantikan oleh Pak Joko.
     Sore itu pengunjung mall begitu ramai. Ibu dengan anak-anaknya kesana kemari. Anak sekolahan berpergian seperti berkelompok. Semua usia seperti presensi hadir dalam gedung tinggi menjulang tersebut. Rasti terlihat berada di lantai 3. Ia duduk di sebelah jendela dengan pemandangan ke arah luar penuh dengan gedung pencakar langit. Jakarta memanglah seperti hutan besi. Pepohonan kini tergantikan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi.
     Setelah hampir 4 menit Rasti melihat-lihat menu, akhirnya ia memesan spageti bolonice dan avocado juice untuk makan sorenya kali ini. Pesanan pun datang dan langsung dilahapnya makanan itu. Semenjak ayahnya menikah dengan wanita lain dan ia memilih tinggal di rumah yang berbeda dengan ayahnya, Rasti merasa bahwa tidak ada makanan yang lebih enak dibanding makanan di luar sana. Meskipun beberapa kali istri baru ayahnya datang untuk memberikan makanan namun Rasti tetap tak bergeming menerima istri baru ayahnya itu. Bahkan sampai sekarang Rasti masih berharap ayah dan mamanya dapat rujuk dan berkumpul dengannya seperti dahulu.
     Waktu menunjukan pukul 17.25. Sebelum meninggalkan kafe tersebut Rasti sempat melihat handphonenya. 18 panggilan tak terjawab dari supir pribadinya membuat ia geram. Bukan karena terganggu. Rasti berpikir kenapa bukan ayahnya yang menelfonnya. Kenapa bukan ayahnya yang mencari-carinya. Raut wajahnya berubah. Ia menekan giginya tanda kecewa. Akhirnya Rasti keluar meninggalkan kafe.
     Kali ini Rasti tak ingin supir pribadinya yang menjemput. Ia sudah kesal dengan apa yang terjadi. Ia kira akan ada seorang ayah yang panik mencarinya. Dugaannya salah. Setelah 5 menit menunggu, akhirnya Rasti memutuskan naik ojek. Ojek tersebut sudah menunggu di seberang jalan. Rasti pun menghampirinya. Tiba-tiba dari arah kanan Rasti, ada sebuah mobil merah berplat B melaju kencang tanpa kendali. Rasti yang kala itu sedang menyeberang langsung tertabrak. Suara keras tabrakan itu membuat semua orang yang berada di sekitar area itu langsung tertuju pada kejadian tersebut. Rasti tergeletak lemah dengan luka gores yang hampir rata di sekitar badannya. Dari pelipisnya keluar darah yang mengalir melewati hidung seperti menangis darah. Tubuhnya tergeletak tak bergerak. Hanya kedipan mata yang masih menampakan tanda kehidupan. Semua orang berkumpul melihati. Namun tak seorang pun berani untuk membopong Rasti. Sampai ambulans datang, Rasti tak mengeluarkan sepatah kata pun.
     Di ruang Melati sebuah rumah sakit, Rasti terbaring lemah dengan penuh perban di sekujur tubuhnya. Di samping ranjangnya ada seorang bertubuh tinggi besar, berkulit putih dan berperawakan orang kantoran sedang menatapi Rasti dengan raut wajah kasihan. Ia adalah ayahnya. Matanya berkaca-kaca sedari tadi. Di luar kamar, seorang perempuan berpenampilan modis yang merupakan istri dari ayah Rasti, bernama Hani. terlihat duduk di samping Pak Joko. "Bagaimana keadaan Rasti, Pah?", tanya Bu Hani pada suaminya sesaat setelah keluar. "Dia harus istirahat lama, Mah. Dokter tadi bilang, kalau kakinya sulit untuk diselamatkan", jawab ayah Rasti dengan nada lemah. "Maksud Papah, kaki Rasti harus diamputasi?", cetus Bu Hana seketika mendengar jawaban suaminya. Pak Ardi, ayah Rasti hanya bisa mengangguk seperti telah pasrah dengan keadaan. Ia tak menyangka anak satu-satunya akan menerima takdir sepahit ini. Dokter mengatakan bila kaki Rasti tak diamputasi, nyawanya bisa terancam. Dan Pak Ardi tak mau kehilangan anaknya. "Apa tidak ada cara lain, Pah, selain amputasi?", Bu Hani mencoba memastikan lagi. Lagi-lagi Pak Ardi menjawabnya dengan gerakan. Ia menggelengkan kepala. Seperti tak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaannya. Bu Hani langsung memeluk suaminya. Ia mencoba menenangkan suaminya itu. Air mata Pak Ardi langsung mengalir pelan di pipinya.
     Tiga bulan setelah operasi, Rasti kini sangat berbeda. Wajah putihnya layu seakan tak punya harapan hidup. Di atas kursi roda Rasti tak pernah menampakan senyumnya. Ia hanya tersenyum seperlunya. Itu pun terlihat tak natural. Setelah operasi, kini ia tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Selama tiga bulan, Rasti tak pernah keluar dari rumah baik untuk sekolah maupun sosialisasi. Bukannya ia tak mau. Ayahnyalah yang melarang dirinya keluar dari rumah. Awalnya Rasti hanya menerima kalau ia tak diizinkan keluar. Ia berpikir bahwa ia masih harus istirahat penuh. Namun setelah luka operasi sembuh, ayahnya malah tak pernah mengizinkan dirinya keluar sama sekali. Pernah sekali waktu ia ingin jalan-jalan di sekitar rumahnya. Baru ia keluat dari pintu rumah, ayahnya langsung menghampiri dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. Bakan ayahnya tak menghiraukan tangisnya.
     "Mah, Rasti ingin sekolah. Rasti juga ingin bertemu dengan teman-teman", keluh Rasti pada Mamah Hani. "Nak, kamu harus istirahat. Nanti Mamah akan ajak kamu jalan-jalan. Kamu yang sabar, ya, Nak", Mamah Hani mencoba membujuk Rasti agar sabar. Semenjak kecelakaan itu Rasti dan mamah tirinya menjadi lebih dekat. Ia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan mamah tiri yang baik. Namun Rasti juga menyesal kenapa tak dari dulu ia bisa dekat dengan mamah Hani. Semua itu karena pikirannya yang menganggap kalau ibu tiri adalah orang yang jahat. Sedangkan sampai sekarang, mamah Lusi yang merupakan ibu kandungnya tak pernah sekalipun menjenguk bahkan sekadar bertanya kabar. Rasti pun sekarang tak pernah ingin tahu lagi mengenai ibunya.
     Waktu menunjukan pukul 19.00. Rasti, pak Ardi dan mamah Hani tengah makan malam. Di tengah-tengah makan malam itu, Rasti membuka perbincangan. "Pah, aku ingin sekolah, aku ingin keluar dari rumah", ujar Rasti tanpa basa-basi. "Papah tidak izinkan kamu keluar!", jawab Pak Ardi tegas. "Kenapa? Kenapa Rasti tak pernah diizinkan keluar rumah? Papah malu dengan keadaan Rasti sekarang?", Rasti mulai meninggikan nada suaranya. "Kamu cukup di rumah! Lagipula Papah sudah membayar guru privat untuk kamu!", Pak Ardi mulai emosi. Ia menghentikan mengunyah makanannya setelah menjawab pertanyaan Rasti. Bu Hani hanya terdiam melihat seorang ayah dan anaknya beradu mulut. "Papah jahat! Egois! Bahkan hewan peliharaan saja diajak keluar oleh majikannya! Lalu Papah anggap aku ini apa?", Rasti tak dapat menahan amarah yang selama ini dipendamnya. "Kau ini...!", cetus Pak Ardi yang langsung dipotong oleh istrinya. Bu Hani berusaha menenangkan suaminya itu dengan kata sabar. Tak ada hal lain yang dapat dilakukannya. Ia tahu kalau karakter suaminya itu cukup keras. Rasti yang sudah sangat kecewa dengan perlakuan ayahnya langsung memutar kursi rodanya ke arah kamar. Air matanya menetes dengan derasnya. Ia mencoba menahan tangis suaranya.
     Seminggu setelah kejadian di meja makan ketika makan malam membuat Rasti menjadi lebih pendiam. Ia sama sekali tak pernah berbicara bila rasanya tak perlu. Sesekali Rasti hanya bisa melihat keluar dari jendela kamarnya. Terkadang ia menumpahkan perasaanya melalui sebuah buku diary berwarna pink dengan gambar lukisan abstrak penuh warna. Setelah kecelakaan yang merenggut satu kaki kirinya, ia tak pernah menggunakan handphone. Ayahnya tak mengizinkan Rasti bermain gadget sama sekali. Hal tersebut dikarenakan pak Ardi tak ingin anaknya salah bergaul. Kini ia bagaikan penghuni rumah yang akan selalu jadi penunggu dan mungkin sampai ajal menjemput, pikirnya.
     Hujan jatuh seakan menyirami bumi yang kering gersang. Daun hijau muda yang banyak tumbuh di sekitar rumah, terlihat sangat segar dengan adanya tetesan air. Menyejukkan bagai sebuah penyejuk. Hal seperti ini tak akan pernah dilewatkan oleh Rasti. Baginya hujan yang turun bukan hanya rahmat yang diberikan Allah kepada umat manusia. Hujan merupakan pelipur sepi baginya. Suara rintik hujan seperti musik alami yang sengaja datang untuk menghibur dirinya. Sembari memandangi jatuhnya air hujan yang deras, Rasti tengah menyanyi lirih tepat di hadapan jendela.
     Tiba-tiba suara pintu kamar Rasti yang terbuka membuat pandangannya teralihkan. Mamah Hani masuk dengan piring berisi makanan di tangannya. Dari daun pintu senyum merekah sudah nampak dari bibirnya. "Lebih enak melihat hujan turun sambil makan", ujar Mamah Hani sembari menempatkan diri duduk di pinggiran kasur menghadap ke arah Rasti. "Aku ingin sekali menyentuh air hujan itu, Mah", Rasti menimpal dengan rasa inginnya. "Nanti setelah kamu sembuh", jawab mamah Hani. "Mah, kenapa papah tak mengizinkan Rasti keluar? Apa papah malu karena kaki Rasti hanya satu?", Rasti masih penasaran dengan perlakuan papahnya. "Papahmu hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Nak. Ia ingin menjagamu", terang mamah Hani. "Tapi bukan seperti ini caranya. Aku juga butuh sosialisasi", cetus Rasti. Mamah Hani hanya bisa mengangguk tersenyum mencoba menenangkan Rasti yang mulai emosi.
     Telepon rumah berbunyi. Mendengar deringnya, Rasti yang tengah memutar kursi rodanya langsung memutar arah menuju ruang tengah. Belum sempat Rasti mengangkat, suara dering berhenti. Rasti terdiam sejenak dan langsung bersiap memutar kursi rodanya kembali ke arah kamar. Tak sempat kursi roda itu berbalik arah, telepon berdering kembali. Rasti tak berpikir panjang dan langsung mengangkatnya. "Halo?", ucap Rasti. "Halo. Bisa bicara dengan Rasti?", jawab penelepon itu. "Ini...siapa ya?", tanya Rasti. "Saya Lusi, mamahnya Rasti". Mendengar jawaban penelepon bahwa ia adalah mamah Lusi, Rasti terkaget. Matanya sedikit membelalak. Pikirannya buyar. Ia bingung apakah harus senang mendengar suara mamahnya atau harus marah. Beberapa saat ia tak bisa berbicara. Rasti bingung harus bagaimana. "Halo?", suara mamah Lusi terdengar. "mamah?", tanya Rasti spontan. "Rasti? Ini kamu, Nak? Ini Mamah. Mamah kangen sekali dengan kamu. Bagaimana keadaanmu sekarang?", ucap mamah Lusi panjang lebar setelah sadar bahwa yang menjawab teleponnya adalah Rasti. "Untuk apa Mamah menelepon? Bukannya Mamah tidak lagi peduli dengan Rasti?", ketus Rasti ketika menjawab. "Rasti...", belum selesai mamahnya menjawab Rasti langsung menutup telepon tersebut. Rasti tak dapat menyembunyikan sedih hatinya. Namun ia juga menyimpan amarah yang dalam untuk mamahnya. Dengan cepat ia kembali ke kamar.
     Embun di atas daun bergelantungan menyongsong segarnya pagi ini. Hijaunya pemandangan membuat pagi ini seperti terlahir kembali ke dunia. Dingin yang samar menggores kulit dengan halusnya. Hari Minggu ini membuat hati Rasti tak merasa sepi seperti biasanya. Papah dan mamahnya kini menemani dirinya di rumah. Tak ada kegiatan khusus memang di hari itu. Hanya sekadar berkumpul dan berbincang-bincang di bumbui gurauan sudah menjadi hal yang menyenangkan. "Pah, bolehkah Rasti menyampaikan sesuatu?", tiba-tiba Rasti merajuk. "Sampaikan saja, Nak", jawab ayah Rasti. "Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya Rasti meminta pada Papah. Rasti tak ingin terus-terusan di dalam rumah. Rasti tidak bisa seperti ini terus. Rasti butuh teman", Rasti menyampaikan dengan air mata meleleh di pipinya. "Sudah berapa kali Papah bilang, kamu tidak boleh keluar. Papah tidak ingin kamu diolok-olok oleh orang lain. Paham!", raut wajahnya mulai memerah. "Kalau begitu kirim saja aku ke panti asuhan!", Rasti tak bisa menahan emosinya. "Pah, Rasti benar. Dia tak mungkin terus di dalam rumah. Seharusnya kita sebagai orang tua harus membuktikan kepada semua orang kalau kita mampu membuat Rasti lebih sukses. Bukan malah membatasi dia", mamah Hani kini lebih tegas dengan sikapnya. Ia menjadi tak tega melihat Rasti terus menangis meminta perlakuan adil pada ayahnya. Seketika suasana menjadi hening. Mamah Hani kini memeluk Rasti yang menangis menahan rasa marahnya. Pak Ardi yang berkarakter keras terlihat tengah memikirkan perkataan sang istri.
"Maafkan papah, Ras. Papah egois. Papah akui, Papah sempat merasa malu mempunyai seorang anak yang keadaannya seperti kamu. Tapi, Papah juga tidak mau kalau kamu tersakiti dengan karena menjadi bahan olokan. Maafkan Papah, Nak", jelas pak Ardi. Suasana haru begitu menyerbu ruangan itu. Pak Ardi langsung memeluk Rasti. Kini kebahagiaan telah lengkap rasanya. Rasti yang jarang menyunggingkan senyumnya, sekarang hampir setiap saat tak ada waktu untuk tidak menampakan raut senyum manisnya itu. Meskipun belum bisa untuk bersekolah, Rasti sangat mensyukuri perubahan sikap sang ayah pada dirinya.
     Malam ini, merupakan hari ulang tahun Rasti yang ke 17. Di hari spesial ini sang ayah dan mamah Hani tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memberikan hadiah terindah untuk sang anak. Rasti yang tengah berada di dalam kamarnya sibuk merias diri dengan dibantu oleh seorang teman dekatnya bernama Bella. Sudah hampir 5 bulan ia tak pernah bertemu dengan Rasti semenjak kecelakaan itu. Kini setelah Rasti diizinkan keluar rumah, satu per satu teman SMAnya berdatangan tak terkeculi Bella. "Semoga di hari ulang tahunmu, kamu akan mendapatkan apa yang diinginkan", ucap Bella pada Rasti setelah mendandani. Bella tersenyum lebar mendengar ucapan itu dari sahabatnya. Ia tak menyangka sahabatnya masih bisa menerima keadaan dirinya yang sekarang hanya berkaki satu. Bella langsung mendorong kursi roda milik Rasti ke ruang pesta ulang tahun.
     Setibanya Rasti di tengah-tengah para sahabat yang sudah datang di ulang tahunnya, ia kembali menyunggingkan senyum manisnya. Semua orang menatapinya dengan penuh kagum. Pak Ardi dan mamah Lusi yang menunggunya juga melemparkan senyum bangga pada anaknya itu. Mata Rasti berkeliling memandangi satu per satu yang datang. Tiba-tiba di tengah ramainya orang, Rasti seperti melihat seorang wanita yang tak asing baginya. Wanita itu tersenyum pada Rasti. Rasti yang masih mencoba mengingat siapa orang tersebut tak menjawab senyumnya. Tak disangka, sambil berlari kecil wanita itu langsung menghampirinya dan langsung memeluk. Ketika wajah wanita itu tepat di hadapannya Rasti baru teringat siapa wanita itu. Ia adalah mamah Lusi. Mamah kandungnya. Dengan tangisan mamah Lusi memeluk Rasti. Rasti bingung harus bagaimana. Ia tak tahu harus merasa apa. Semua rasa bercampur aduk malam itu. Benci, sedih, senang, semua seakan menghujam hatinya. "Rasti, maafkan mamah. Mamah baru bisa menemuimu sekarang, Nak", ucap mamah Lusi. "Untuk apa, Mamah ke sini?", jawab Rasti. Mendengar kalimat tanya dari anaknya, mamah Lusi langsung melepas pelukannya dan memandangi wajah Rasti. "Mungkin ini adalah kesempatan Mamah terakhir kali untuk bertemu denganmu, Nak. Mamah harus ikut dengan suami mamah ke New Zaeland. Mamah tahu kamu marah. Tapi Mamah mohon untuk terakhir kalinya. Maafkan Mamah, Nak", terang mamah Lusi sambil menjatuhkan badannya di hadapan Rasti yang berada di kursi roda. "Semua ini salah Papah, Nak. Papah yang tak izinkan mamahmu untuk bertemu denganmu. Maafkan Papah, Nak", tiba-tiba pak Ardi memotong pembicaraan. Ia mengakui kesalahannya selama ini yang tak pernah mengizinkan anaknya bertemu dengan mamahnya setelah perceraian. "Jadi...selama ini...", belum sempat Rasti melanjutkan ucapannya ia langsung menangis tersedu dan memandang dalam mamahnya berharap mamahnya memaafkan dirinya karena kesalahpahamannya selama ini. Mamah Lusi yang seakan mengerti maksud anaknya langsung memeluk Rasti. Pelukan itu pun dibalas erat oleh Rasti. Semua orang yang datang seperti melihat seorang anak dan ibu yang lama tak bertemu namun sekarang harus berpisah kembali.

Cerpen ini menjadi cerpen keempat yang saya tulis secara tulus dalam blog ini. Semoga ketulusan yang mengiringi akan menjadi bumbu rasa dalam isi. Tak pernah terpikir untuk membuat cerpen terbaik. Hanya ingin menulis dan menulis. Maka apabila banyak kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf. Semoga penulis amatir seperti saya ini, dapat belajar dan menyandar untuk membagi tulisan pena penuh getar. Terima kasih.

Facebook 👉 Sintiya DY
Instagram 👉 sintiyadwi

Selasa, 25 April 2017

Cerpen singkat motivasi

                           Dalam Diam
                  ( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
           Universitas PGRI Semarang

    Malam ini merupakan malam terakhir Dr. Hana praktik di desa Mangunharjo. Aisyah masih menemani Dr. Hana mengemasi barang yang akan dibawa ke Jakarta pulang nanti. Bu Titin dan Pak Karno berada di ruang tamu tengah menikmati tontonan reality show di televisi. Sesekali Bu Titin masuk ke dalam melihat apakah Dr. Hana dan Aisyah telah selesai mengemasi barang atau belum. Dr. Hana sudah satu bulan praktik di desa Mangunharjo. Selama sebulan ini Dr. Hana menginap di rumah Pak Karno dan Bu Titin yang merupakan orang tua dari Aisyah. Aisyah adalah anak tunggal mereka. Aisyah sangat antusias dengan adanya Dr. Hana. Ia merasa Dr. Hana bisa menjadi tempat bertanyanya mengenai kedokteran. Begitu pula Dr. Hana, ia menganggap Aisyah sebagai adiknya. Jarum jam menunjukan pukul 19.30, Dr. Hana dan Aisyah keluar dari kamar. "Sudah selesai Dok?", Tanya Bu Titin. "Sudah bu. Untung ada Aisyah yang membantu", jawab Dr. Hana. Dr. Hana langsung menempatkan diri di kursi panjang dekat dengan Bu Titin. Aisyah langsung mengikuti dan duduk dekat Pak Karno. Mereka berbincang-bincang santai sambil menikmati sepiring pisang goreng yang Bu Titin buatkan khusus untuk malam perpisahan Dr. Hana. Mereka tampak akrab satu sama lain. Keluarga Pak Karno yang hangat membuat Dr. Hana enggan cepat-cepat pergi dari desa Mangunharjo. Aisyah yang sudah sangat akrab juga tampak tak rela kalau Dr. Hana kembali ke Jakarta.
     Pagi ini acara pelepasan Dr. Hana kembali ke Jakarta. Di depan balai desa yang sekaligus menjadi tempat praktiknya, Dr. Hana tengah memberi ucapan salam perpisahan kepada para warga yang hadir. Mereka rata-rata adalah pasien yang pernah datang. "Terimakasih atas keramahan Bapak, Ibu sekalian yang telah membantu saya dalam menjalankan tugas. Semoga sebulan saya di sini ada manfaat yang bisa Bapak, Ibu sekalian rasakan. Mohon maaf bila saya tidak membantu secara maksimal. Dan terakhir, saya sangat mengucapkan terimakasih kepada keluarga Pak Karno yang bukan hanya memberikan saya tumpangan tidur. Namun juga keluarga yang sangat hangat", ucap Dr. Hana dalam perpisahannya.
     Pikiran Aisyah tertuju pada desanya yang sedang melakukan acara perpisahan bersama Dr. Hana. Ia ingin sekali datang di acara itu. Namun Dr. Hana melarang Aisyah untuk membolos. Ia tak mau Aisyah menjadi anak yang tidak bertanggung jawab terhadap tanggung jawabnya. Aisyah yang kini duduk di SMA kelas 3 sangat mengidolakan Dr. Hana semenjak kedatangannya di rumahnya. Ia melihat sosok tulus dan mengabdi dalam diri Dr. Hana. Sesekali ia membantu di klinik, membuatnya terketuk mengikuti jejak sang dokter.
     Malam ini terasa sepi. Raut wajah Aisyah seperti tak biasanya. Seperti ada yang hilang dari dirinya. Dan itu pastilah karena kepulangan Dr. Hana. "Kenapa Kamu nak? Kenapa mukamu seperti sedang ada masalah?", tanya Bu Titin sembari membawa segelas kopi. "Tidak apa-apa, Bu. Aisyah hanya sedang membayangkan sesuatu", jawab Aisyah. "Apa yang kamu bayangkan nak?", bu Titin penasaran. "Aisyah sedang membayangkan kalau Aisyah bisa menjadi dokter seperti Dr. Hana. Rasanya pasti luar biasa. Iya kan, Bu?", jelas Aisyah. Perkiraan Bu Titin tepat. Ia tahu pasti anaknya Aisyah sedang memikirkan tentang Dr. Hana. Bu Titin hanya tersenyum mendengar penjelasan anaknya. Bahkan ia tak sempat menjawab pertanyaan terakhir yang dilontarkan Aisyah. "Tidak bisa!", tiba-tiba suara Pak Karno yang keluar dari kamar sambil membuka korden memecah suasana hening tadi. Aisyah kaget. Bu Titin langsung meletakan kopi di atas meja dan duduk di samping Aisyah. "Maksud Bapak apa? Kenapa Bapak tiba-tiba bilang tidak bisa?", tanya Bu Titin heran. Raut wajah Aisyah berubah. Ia mengerutkan dahi pertanda menunggu jawaban dari bapaknya. Wajahnya memerah seakan sudah menebak apa yang akan dikeluarkan bapak dari mulutnya. "Nak, kamu tahu kan kita ini hidup pas-pasan. Bapak hanya satpam di sekolah dasar. Ibumu terkadang sakit-sakitan. Mana mungkin Bapak membiayaimu sekolah di kedokteran yang terkenal sangat mahal?", pak Karno menjelaskan dengan pelan sembari menduduki kursi tempat biasanya ia duduk. Aisyah hanya terdiam. Ia sadar bahwa ia bukanlah dari keluarga berada. Bu Titin pun tak berkata apa-apa. Ia hanya bisa memeluk sang anak. Ia tahu Aisyah sangat terpukul dengan penjelasan bapaknya.
     Setelah mendengar ucapan bapaknya, Aisyah bertekad belajar semaksimal mungkin agar ia dapat berprestasi dan mendapatkan beasiswa. Hal tersebut adalah satu-satunya yang bisa membawanya kuliah di kedokteran. Setiap hari tak lupa ia selalu membuka buku pelajaran terlebih mengenai materi soal ujian masuk perguruan tinggi ke kedokteran. Ia tak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Aisyah bersemangat. Banyak jalan menuju Roma. Pepatah yang selalu diingatnya demi cita-cita yang ingin dicapai.
     Ujian sekolah telah usai beberapa waktu lalu. Ujian-ujian masuk perguruan tinggi baik melalui sekolah maupun mandiri telah diikuti Aisyah. Namun takdir berkata lain. Aisyah selalu gagal masuk. Ia Heran. Prestasinya di sekolah cukup baik. Ia selalu belajar keras bila akan menghadapi ujian. Tetapi mengapa ia selalu gagal. Pikirnya dalam hati.
     Ia menjadi teringat dengan orang tuanya. Selama ini, ia tak pernah memberitahu Bapak, Ibunya bahwa ia mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aisyah merasa bersalah. Ia merasa bahwa dirinya egois. Akhirnya ia memberanikan diri memberitahu orang tuanya. Mendengar penjelasan anaknya, Pak Karno dan Bu Titin kaget. Terutama Pak Karno. Rasanya ia ingin marah namun tak kuasa. Malam itu juga Aisyah meminta restu kepada Pak Karno dan Bu Titin agar ia dapat diizinkan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi untuk terakhir kalinya dengan pilihan kedokteran. Pak Karno langsung menampakan raut wajah ketidaksetujuannya. "Bapak tidak akan setuju kalau kamu kuliah di kedokteran. Sudah berapa kali Bapak bilang!", cetus Pak Karno. "Bapak jahat. Aisyah tak pernah meminta apa-apa pada Bapak. Hanya ini pak! Aisyah ingin kedokteran bukan karena keinginan Aisyah semata. Aisyah juga ingin Bapak, Ibu bisa bangga mempunyai anak seorang dokter!", Aisyah sangat emosi. Pak Karno masih belum luluh dengan perkataan Aisyah. Namun hati kecilnya tak bisa melihat anak satu-satunya sedih dihadapannya. Akhirnya Pak Karno memberi pilihan kepada Aisyah. Ia boleh kuliah dengan jurusan pendidikan dan bukan kedokteran. Aisyah sudah merasa lega. Namun tetap hatinya memilih kedokteran.
     Akhirnya dengan sedikit keterpaksaan Aisyah memilih pendidikan. Tak lama setelah ujian masuk, pengumuman kelulusan keluar. Nama Aisyah sama sekali tak muncul dalam daftar siswa lulus masuk perguruan tinggi. Ia mencari namanya berkali kali, hampir tiga kali ia mengulang. Akhirnya setelah lama mencari Aisyah menemukan namanya. Ia diterima di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonrsia. Ia gembira seketika meskipun program studi tersebut bukanlah pilihan hatinya.
     Di awal pendidikan Aisyah sangat susah untuk beradaptasi dengan mata kuliah yang ada. Ia hampir menyerah. Namun perkataan ibunya selalu terngiang-nguang di ingatannya. "Ibu yakin, kamu bisa sukses dengan mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di luar sana masih banyak yang tidak seberuntung kamu, nak. Semangat dan jangan mudah putus asa", perkataan Bu Titin 4 bulan sebelum meninggal membuat Aisyah tak bisa membendung tangisnya jika teringat akannya. Sekarang yang ia punya hanyalah bapaknya. Pak Karno merupakan bapak yang benar-benar bertanggung jawab bagi Aisyah. Ia tak pernah mengeluh meski harus bekerja di usia senjanya dan harus mengurus rumahnya sendiri karena Aisyah tinggal di kota dekat dengan kampusnya. Setiap bulan Aisyah berusaha untuk pulang dan mengunjungi bapaknya. Ia tak tega melihat bapaknya yang mulai sakit-sakitan. Namun ia juga bertekad untuk membahagiakan dan membuat bangga bapaknya.
     "Bu, saya izin ke toilet", suara anak perempuan dengan lesung pipinya mengagetkan Aisyah. Aisyah langsung melihat jam tangannya. Ternyata sedari tadi ia melamun membayangkan hal yang dulu terjadi padanya ketika melihat para mahasiswa perawat memakai seragam perawatnya. Ia menjadi teringat perjuangannya yang ingin menjadi seorang dokter namun tak direstui orang tuanya. Kini Aisyah menjadi seorang dosen di sebuah Universitas keperawatan di Yogyakarta. Ia menjadi dosen mata kuliah Bahasa Indonesia. Ia bangga karena restu orang tuanya membawanya menjadi seorang dosen yang membanggakan bagi sang bapak. Kini Pak Karno tinggal bersama Aisyah dan menantu serta cucunya. "Silahkan", jawab Aisyah mempersilahkan mahasiswa tersebut. Waktu mengajar telah usai. Aisyah mengemasi barang yang ada di mejanya. Tak lupa ia mengucap salam pada para mahasiswa. Ia pun meninggalkan ruang kelas dengan pikiran masih menerawang masa lalunya yang penuh dengan perjuangan.
     Setelah sampai di ruang dosen, tiba-tiba handphone milik Aisyah berbunyi. Ternyata itu adalah telepon masuk dari Dr. Hana. Dari dulu sampai sekarang Aisyah memang masih tetap bersilaturahim dengan Dr. Hana. "Assalamu'alaikum dok", Aisyah memulai pembicaraan. "Wa'alaikumussalam. Bagaimana kabarmu Is? Hari ini saya ada waktu luang. Rasanya sudah lama tak bertemu denganmu. Bagaimana kalau kita bertemu di tempat yang dulu kita pernah bertemu?", tanpa basa-basi Dr. Hana langsung mengutarakan keinginannya. "Wah Dr. Hana tahu saja kalau saya juga ingin bertemu dengan Dokter. Kalau begitu setelah ashar, saya hubungi dokter lagi. Saya sudah tidak sabar bertemu dengan dokter", Aisyah menjawab dengan nada semangat. Ingatannya semakin kuat tentang masa lalunya. Ia sangat bersyukur hidup dalam keluarga yang begitu menyayanginya. Ia juga sangat bersyukur karena dipertemukan dengan Dr. Hana yang selalu memberinya motivasi.
     Semakin hari Aisyah semakin bersyukur karena dilahirkan dalam keluarga yang penuh perhatian. Karena ridho orang tuanya lah, Aisyah mampu membuktikan bahwa dirinya dapat sukses dengan potensi yang dimiliki. Hidup memang tak selalu sejalan dengan hati. Namun yakinlah bahwa hati yang teguh akan menjalankan hidup. Dan itu pilihan hatimu. Aisyah bersyukur.

Cerpen dalam diam ini merupakan cerpen ketiga yang saya tulis dalam blog dan dibuat di sela-sela tugas kuliah. Cerpen singkat ini saya buat sebagai bahan lomba menulis cerpen. Namun, karena alasan tertentu saya tak melanjutkannya. Masih banyak kekurangan dalam penulisan cerpen ini dan penulis sangat menyadarinya. Maka dari itu, penulis mengharap saran dan kritik dari para pembaca. Terima kasih.

Instagram 👉 sintiyadwi
Facebook  👉 Sintiya DY

Semangat Chairil Anwar sebagai Binatang Jalang

Semangat Chairil Anwar sebagai             Binatang Jalang

     Karya sastra Chairil Anwar merupakan salah satu karya sastra yang paling sering digunakan dalam dunia kesastraan baik sebagai bahan pembahasan di lingkup sastrawan-sastrawan masa kini maupun dalam bidang akademis. Tak dipungkiri bahwa karya sastra milik sastrawan angkatan 45 ini turut membangun pikiran-pikiran yang cerdas dalam masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Chairil Anwar adalah orang yang hidup dalam perjuangan. Tak heran karya sastranya banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya.
     Dalam salah satu karya satra puisinya berjudul Semangat yang kemudian diubah menjadi Aku yang ditulisnya pada Maret 1943, Chairil Anwar begitu lugas dan tegas dalam mencurahkan isi hatinya melalui puisi tersebut. Namun pada zamannya, banyak orang yang tidak suka dan menolak adanya puisi Aku. Mereka menganggap puisi Aku tak sejalan dengan puisi pada masanya. Kata aku ini binatang jalang juga menjadi salah satu bahan perdebatan yang dianggap frontal. Bahkan seorang yang sezaman dengan Chairil Anwar yaitu Bung Usman sampai menulis tulisan dengan judul “Hendak Jadi Orang Besar?” dalam menanggapi puisi Aku. Hal itu menunjukan Usman yang kesal dengan vitalitas dan cara hidup baru yang ditunjukan Chairil dalam puisinya. Dilihat dari strukturnya puisi aku termasuk ke dalam jenis puisi lama yang merupakan karya sastra pendobrak karya sastra puisi lain pada masanya yang kala itu masih menggunakan bahasa mendayu-dayu. Sedangkan puisi Aku dalam penggunaan bahasa lebih bebas dan lugas.
     Dalam syair puisi Aku yang ditulisnya yaitu : Kalau sampai waktuku/ kumau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau// tak perlu sedu sedan itu// aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang// biar peluru menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang// luka dan bisa kubawa berlari-lari/ hingga hilang pedih peri// dan aku akan lebih tidak peduli/ aku mau hidup seribu tahun lagi, menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain meskipun banyak rintangan yang ia hadapi.
     Chairil merupakan seorang yang individualis yang bebas dan berani. Hal tersebut terlihat dari karya esai dan puisi yang dibuatnya. Salah satunya dalam puisi Aku. Kemungkinan tersebut dikuatkan dengan adanya pendapat dari seorang lulusan sarjana sastra Indonesia asal Timor Timur, yaitu AG Hadzarmawit Netti. Ia mengatakan bahwa "Judul Aku menekankan individualistis seorang Anwar". Netti sendiri menganalisis bahwa puisi Aku mencerminkan kebutuhan Chairil Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak dibentuk kekuatan luar. Dan dalam penggalan bait terakhir puisi Aku, Netti menerangkan bahwa Chairil Anwar bangga akan keindividualistisnya yang tergambar dari sajak terakhir puisi tersebut.
     Dalam keindividualistisnya, Chairil Anwar nampaknya tak hanya individualistis hanya dalam pribadi semata. Namun ia ingin menyampaikan bahwa bangsa Indonesia ingin bebas, tak ingin lagi tertindas, dan ingin lepas dari semua bentuk penjajahan Jepang. Kala puisi Aku meroket, keadaan masyarakat Indonesia memanglah menyedihkan. Mereka hidup miskin, di bawah jajahan Jepang.
     Chairil Anwar memanglah sastrawan pembangun jiwa, rasa, dan daya. Tak seorang pun menduga bahwa puisi Aku akan menjadi salah satu titik pemikiran bagi masyarakat agar hidup lebih bebas tanpa kendali penjajah. Meski harus ditangkap oleh penjajah Jepang karena puisinya yang dianggap tak sejalan dengan pemerintah Jepang dan membangkang pada saat itu. Namun Chairil Anwar tetap dengan tegasnya menyuarakan kebebasan dan semangat kemerdekaan.
     Ada banyak hal yang dapat kita pelajari melalui puisi Aku milik Chairil Anwar ini. Dengan menghayatinya kita dapat merasakan bagaimana perjuangan mereka-mereka yang hidup di zaman awal kemerdekaan yang idenya begitu dikekang, suaranya dibungkam, dan hatinya dirajam. Singkatnya sajak puisi Aku tak sesingkat rasa yang sampai sekarang masih bisa di hayati dari generasi ke genarasi. Mereka memang tak mengalami. Paling tidak, sebagai bangsa yang besar, mereka masih bisa menghargai jasa pahlawannya tak terkecuali sastrawan-sastrawan seperti Chairil Anwar yang ikut dalam membentuk pemikiran cerdas bangsa Indonesia memalui sajaknya.
     Semoga masih banyak sastrawan-sastrawan masa kini yang ikut melanjutkan perjuangan sastrawan awal kemerdekaan seperti Chairil Anwar dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan kecerdasan, kegigihan, dan semangat. Karena penjajah masa kini tak lagi menyerang fisik melainkan pemikiran. Maka mulailah suarakan hatimu layaknya puisi Aku yang tak lekang oleh waktu.

Sabtu, 22 April 2017

Semarak Kartini 2017 "Perempuan Berkarya" Universitas PGRI Semarang

     Kenyamanan bukanlah jaminan kebahagiaan. Ada hal-hal yang harus dilampaui lebih dari itu. Mungkin sesuatu yang harusnya ada tetapi tersembunyi atau disembunyikan. Peluh keringat diperjuangkan. Demi hak yang harus tersalurkan. Modern ini, belum selesai. Aku, kau maupun dia masih harus cerdas. Cerdas dalam mempertahankan meski tertahan, cerdas dalam memperjuangkan meski harus kelelahan. Itu bukan apa-apa. Bukan apa-apa dibandingkannya.
     Perayaan bukanlah berleha-leha, bukanlah upacara adanya. Ini adalah wadah. Tempat mengingat, tempat membuka memori-memori perjuangan. Bersama semangatnya kita bawa hak wanita. Kita songsong wanita cerdas bukan ngepas. Habis gelap terbitlah terang, dan jagalah tetap terang.
     21 April bukan hanya saja saat dimana mengenang perjuangan seorang Kartini. Tepatnya adalah momentum mengingatkan para perempuan akan kelebihan dan potensi yang dimilikinya. Sehingga potensi tersebut dapat tersalurkan sebagaimana harusnya. Seperti ucapan dari Putri Indonesia favorit Jawa Tengah Mega Prabowo, bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai keinginannya apabila ia belum matang dalam persiapan. Maka perempuan sejatinya harus bisa mempunyai potensi yang dikembangkan.
      Satu hal yang pasti. Menjadi wanita yang memperjuangkan tak harus menjadi seorang Putri Kartini. Karena, semua wanita adalah Kartini yang harus membela haknya tanpa meninggalkan kewajibannya. Kesetaraan tak akan terjadi apabila wanita tersebut tak menginginkannya. Maka, jadilah pelopor bukan pengekor, jadilah pejuang bukan pendulang

Kamis, 06 April 2017

Puisi "Bukan Kita"

                 Pasukan Penyelamat
                 ( Sintiya Dwi Yuniati )
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
           Universitas PGRI Semarang

Berbaris tiang seperti pasukan paskibra
Tertata rapi padahal tak ada komando
Terhempas, tersapu debunya udara
Namun tak sekalipun mereka mengeluarkan keluhan suara
Meski ada kalanya mereka tumbang karena tak kuasa menanggung beban
Dan itu, bukan kita

Tiang kayu berambut hijau muda
Lebih muda dibanding berambut hijau tua
Mereka sama saja
Mengeluarkan apa yang memang waktunya
Tak pandang tua muda
Bila jatahnya, ya jatahnya
Meski kadangkala kau ikut jatuh mengikuti tiang yang tak sanggup menanggung beban
Dan itu, bukan kita

Menjalar ke penjuru arah kau digelar
Abu-abu bergaris putih di tengah
Bertumpuk semua benda dengan keasingannya
Zat kotor tak terjamak menjadi saksi semua
Berserakan semua benda seperti dibuang sang pemiliknya
Dan itu, bukan kita

Seperti kebahagiaan
Nyaman dan keindahan seperti kecintaan
Dengan ini aku mengabdi
Menjadi penyelamat barang satu, dua nyawa
Dari kotoran penghujam paru yang datang dari segala penjuru
Dan itu, bukan kita bila tak bersih

Selasa, 21 Maret 2017

Puisi Rindu ( Sajak di Musim Rindu )

                          Musim Rindu
           ( Karya : Sintiya Dwi Yuniati )

Aku pilu
Aku malu
Aku resah
Dan aku payah

Ketika bentang aspal jadi jarak
Masihkah kasih untukku kau arak
Ketika aku lupa suaramu
Apakah kau akan dirundung haru
Jangan menangis di tengah malam
Jangan basahi pipimu dengan air asin

Warnai hidupmu dengan mejikuhibiniu
Jangan suram, jangan gelap
Sampaikan saja,
Agar hatiku dan hatimu terpaut dalam ridho
Sayangi aku melalui doamu
Tenangkan aku lewat pintamu

Padaku,
Kau gelar harap
Meski harus dengan langkah derap
Murnimu begitu halus
Sucimu diatas seratus
Kartini, habis gelap terbitlah terang
Kau, jagalah terang benderang

Progdi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas PGRI Semarang.

Rabu, 08 Maret 2017

Cerpen cinta Islami

                         Dalam Sabar   
           ( Karya : Sintiya Dwi Yuniati )

Progdi Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, Universitas PGRI Semarang.

     Sejauh mata memandang hamparan hijau berada di pelupuk mata. Rasanya sejuk sekali bisa melihat dan merasakan asrinya taman kota. Meski masih di kota tapi di sini masih bisa menikmati udara segar yang orang lain belum tentu bisa menikmatinya. Namanya Mila dan dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas 2. Ia adalah anak yang ceria dan selalu menggunakan jilbabnya dalam keseharian. Mila orang Jawa asli. Ibunya asli Semarang dan bapaknya asli Jogyakarta. Tetapi semenjak ibunya meninggal 4 tahun yang lalu Mila tidak lagi tinggal bersama bapaknya di Jogja. Sekarang ia tinggal bersama kakak sepupunya teh Niar yang sudah bersuami A' Didi di Bandung. Bapaknya tidak mau kalau Mila menjadi anak yang kurang pendidikannya. Dan ia menitipkannya kepada adik dari almarhum istrinya. Mungkin karena teh Niar adalah seorang guru, sehingga bapaknya percaya kalau teh Niar bisa mendidiknya. Kring... kring... . Tiba-tiba suara handphone mengejutkan Mila. Dia langsung menggapai tasnya yang berada di ujung kakinya. Ternyata bunyi telepon itu sebuah panggilan dari teh Niar. Ternyata teh Niar menelepon Mila meminta agar dibelikannya rujak. Teh Niar memang baru saja menikah, dan kini ia tengah hamil muda. Mila merasa kalau anak yang dikandung teh Niar adalah adik kandungnya sehingga dia rela panas-panasan hanya untuk mencari rujak.
     Kini Niar kembali ke rumah untuk pulang sekaligus membawakan titipan rujak untuk teh Niar. Dalam perjalanan ia bertemu dengan teman sekelasnya, Rina yang sebenarnya tidak terlalu akrab dengannya di kelas. Rina diboncengkan oleh seorang pemuda putih bersih dengan tinggi 170-an. Muka pemuda itu kalem tak seperti pemuda-pemuda nakal. Mila langsung bertanya dalam hati, siapa pemuda yang memboncengkan Rina. "Mila, kamu darimana saja? Kenapa masih berpakaian seragam dan di sini?" Sapa Rina sambil menarik lengan baju laki-laki yang memboncengkannya sebagai tanda agar ia menghentikan motornya. "Aku baru saja dari taman kota Rin, dan membelikan rujak buat kakakku. Kamu sendiri?" Jawab Mila sembari mendekat selangkah pada Rina. "Aku baru saja dari toko buku Mil" jawab Rina. "Oh, ya? Waah lain kali ajaklah aku Rin ke toko buku" Mila mencoba merajuk kepada Rina. "Baiklah Mil, lain kali kita kesana bersama. Kamu tidak memakai angkutan Mil?" Tanya Rina mencoba memastikan. "Rumahku sudah dekat dari sini" jawab Mila. "Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Mil, kamu hati-hati di jalan" Rina pamit diri sembari melambaikan tangan kepada Mila dan motor pun melaju. Mila pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang. Dengan plastik berisi rujak yang di belinya tadi ia terus berpikir dalam hati. Kenapa Rina tadi tak memperkenalkan pemuda yang memboncengkannya kepadanya. Apakah dia benar-benar pacar Rina, ataukah hanya saudaranya? Hatinya bergejolak pertanyaan penasaran tentang siapa pemuda itu. Namun ia tersadar dan langsung memukul kepalanya dengan tangan kirinya. "Apa yang aku pikirkan? Kenapa harus Rina memperkenalkan pemuda itu kepadaku? Lagipula siapa aku ini? Apa urusannya denganku? Bodohnya aku", gerutu Mila pada dirinya sendiri seperti marah tak terima apa yang dipikirkannya. Karena lamunannya ia melewatkan belokan rumah yang seharusnya ia lewati. Dengan muka malu-malu ia putar balik dan mencoba memasang muka tenang. Dengan laju sedikit tergesa-gesa ia melanjutkan perjalanan pulang.
     Keesokan hari di sekolah. Siswa-siswi kesana-kemari dengan kesibukkannya. Ada yang membawa buku pelajaran, jajanan kantin, bahkan ada sekelompok siswa yang sedang memindahkan peralatan band. Mungkin mereka adalah aktivis musik di sekolah tersebut. Mila masih terlihat duduk di bangku kelas. Disebelahnya ada Pipit yang merupakan teman dekatnya semenjak ia pindah ke Bandung.Mereka tengah mendiskusikan tentang mata pelajaran matematika yang baru saja mereka dapatkan hari itu. Mila memang tipe anak yang tak suka bergaul kesana kemari. Ia lebih suka bergaul dengan apa yang menurutnya bermanfaat. Namun ia sadar, kadang hal itu membuatnya tertinggal informasi. Ketika Mila menjelaskan materi, ia melihat Rina masuk ke dalam kelas. Tiba-tiba ia teringat pemuda yang memboncengkan Rina. Rasanya ingin sekali ia menanyakan kepada Rina siapa pemuda itu. Tetapi apa alasannya untuk menanyakan siapa pemuda itu. Pastilah Rina berpikir kalau dirinya menyukai pemuda itu. Dan ia tidak mau kesalahpahaman itu terjadi. Di tengah lamunannya Mila terkaget dengan sesuatu yang menyentuh pundaknya. Ia pun tersadar dan menoleh ke arah samping. Ternyata Rina sudah ada di sebelahnya dan langsung menyapa. "Mil, kamu sibuk, ya?", tanya Rina sambil ia melepaskan tangannya dari pundak Mila. "Oh, aku tidak sibuk Rin, kenapa?", Mila balik bertanya. "Aku berencana ke toko buku hari minggu. Kemarin kamu bilang kalau kamu ingin ke toko buku", jawab Rina. "Oh, baiklah Rin, aku ikut. Kebetulan harus ada buku yang aku cari", jelas Mila. Akhirnya Rina kembali ke bangkunya. Mata mila masih saja mengikuti arah Rina kembali. Hatinya bergejolak. Ia bingung sendiri mengapa ia begitu penasaran dengan pemuda itu. Yang ia rasakan ini adalah pertama kalinya ia ingin sekali mengetahui tentang seorang laki-laki. Namun gejolak hatinya tak mampu membuat dirinya berani untuk menanyakan tentang pemuda yang memboncengka Rina kemarin. Astaghfirullah haladzim. Ia beristighfar dalam hati. Sadar bahwa hal yang dipikirkannya sudah tidak benar. Mila pun mengalihkan perhatiannya pada diskusi matematika yangvsebelumnya menyibukkannya dengan teman sebangkunya.
     Sesampainya di rumah Mila telah membersihkan diri. Ia baru saja menunaikan kewajiban shalat dzuhurnya. Baru 2 meter meninggalkan daun pintu kamarnya teh Niar memanggilnya dari dalam ruang keluarga yang berada tepat di depan kamarnya. Mila menghampiri kakak sepupunya itu. "Iya teh?", tanya Mila dan ia langsung duduk di dekat teh Niar siap-siap barangkali ada suatu hal serius yang akan ditanyakan. "Tidak ada apa-apa Mil. Kamu ini seperti di panggil gurumu saja, langsung menanyakan ada apa", teh Niar meringis dan mencoba menggoda Mila yang terlihat tegang ketika ia memanggilnya. "He...he... saya kira ada apa teh", Mila menimpal dengan tersenyum malu. "Oya, Putri besok pulang. Kamu sudah tahu Mil?", Tanya teh Niar. "Iya teh, kemarin teh Putri sms saya. Katanya teh Putri Kamis sore sampai di stasiun. Malah saya di suruh jemput teh. Niatnya malam nanti saya akan membicarakannya dengan teteh", jawab Mila panjang mencoba menjelaskan. "Kalau kamu bersedia menjemput ya silahkan. Tetapi kalau kamu sibuk, tidak usah Mil. Sebenarnya A' Didi yang harus menjemput Putri. Tapi A' Didi masih sebulan lagi pulangnya", timpal teh Niar sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membesar. "InsyaAllah ada waktu teh. Niatnya setelah pulang sekolah saya langsung ke stasiun. Bagaimana teh?", Mila meminta pendapat pada teh Niar. "Terserah kamu saja Mil, yang penting jangan lupa makan", teh Niar begitu perhatian pada Mila. Ia sudah menganggap Mila adalah adik kandungnya. Dulu ketika keluarganya mendapat musibah kebakaran rumah, orang tua Mila lah yang menyelamatkan mereka. Karena itulah teh Niar merasa bahwa ia mempunyai utang budi pada keluarga Mila. Namun teh Niar tidak mempedulikan itu utang budi atau bukan. Ia benar-benar ingin membantu keluarga Mila. Mereka sudah seperti keluarga kandung. Mungkin banyak orang yang mengira bahwa mereka adalah benar-benar keluarga kandung. Dalam memperkenalkan anggota keluarga pun, mereka tidak pernah menambahi embel embel bahwa mereka sepupu atau anak dari saudara. Mereka selalu memperkenalkan anggota keluarga dengan kakak atau adik. Itulah sebabnya Mila menjadi betah dan merasa bahwa keluarga teh Niar sangat terbuka sekali. Dan Mila merasa beruntung menjadi bagian dari keluarga itu.
     Sudah seperempat jam Mila sampai di stasiun. Sebelumnya ia langsung masuk ke dalam minimarket untuk membeli minuman ringan dan sedikit cemilan. Ia yakin pasti ia harus menunggu beberapa waktu sampai kereta yang dinaiki teh Putri sampai. Akhirnya Mila memilih tempat duduk di paling ujung tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar. Jaga-jaga bila ia tidak konsentrasi dalam menunggu dan berharap teh Putri bisa melihatnya. Di sana ia mengamati keadaan satu per satu. Ini adalah hal yang jarang ia lakukan. Selama di bandung ia hanya pernah ke stasiun sekali ketika mengantar suami teh Niar berangkat tugas ke Jakarta. Dan itu pun hanya sebentar karena keberangkatan kereta sangat mepet pada waktu itu. Banyak sekali kedatangan dari luar kota. Bahkan ia mendengar beberapa ibu-ibu berbicara bahasa Jawa khas Jogja. Seketika ia teringat bapaknya. Seminggu yang lalu ia menelepon bapaknya dan Alhamdulillah dalam keadaan sehat. Ia bersyukur mempunyai orang tua satu-satunya yang sangat bertanggung jawab. Rasanya ingin sekali merasakan suasana Jogja yang asri dan lemah lembut orangnya. Ia menjadi teringat akan semua tentang Jogja. Mila masih saja memperhatikan orang lalu lalang, sampai ia sadar bahwa waktu sudah menunjukan kedatangan kereta. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan suara pengeras di stasiun yang mengumumkan kedatangan kereta dari Jakarta menggema. Ia tepat. Dan langsung menuju ke arah pintu keluar. Di depan pintu keluar banyak sekali orang-orang yang baru saja datang menggunakan kereta yang sama dengan teh Putri. Ada yang membawa koper besar, koper kecil bahakan hanya membawa tas kecil. Ia masih mengamati orang-orang tersebut. Akhirnya setelah 10 menit menunggu teh Putri muncul dengan jilbab birunya yang lebar khas teh Putri. Mila langsung memanggil dan melambaikan tangannya pada teh Putri. "teh!", Mila tersenyum pada teh Putri. "Mil, ya Allah aku kangen sekali", teh Putri langsung memeluk Mila dengan haru. Setelah melepaskan pelukan rindunya mereka berdua menjauhi kerumunan ramai agar lebih leluasa. Mila langsung membawakan tas teh Putri. "Bagaimana teh perjalanannya?", Mila langsung menyodori pertanyaan. "Lumayan Mil, sedikit melelahkan. Tapi nikmat rasanya bisa pulang kampung", teh Putri menjawab dengan nada bahagia. "Terus bagaimana teh kerjanya?", Mila terus menyodori pertanyaan pada teh Putri. Padahal mereka baru berpisah selama sebulan. Tetapi bagi mereka perpisahan ini seperti perpisahan sementara yang lama. Mereka pun terus saling berbincang, saling bertanya jawab. Mereka menuju rumah makan di dekat stasiun. Namun ditengah perjalanan perhatian Mila teralihkan. Ia melihat pemuda yang memboncengkan temannya Rina di stasiun. Pemuda itu memakai jeans dan kemeja panjang. Ia membawa tas ransel yang isinya terlihat sedikit banyak layaknya akan bepergian. Mila terus saja memperhatikan pemuda itu sampai ia melewatinya. Bahkan Mila berhenti sejenak dan sempat tertinggal oleh teh Putri. Teh Putri tersadar bahwa Mila berhenti di belakangnya. Kemudian ia menghampiri Mila sambil menepuk lengan Mila. "Mil, kenapa berhenti? Kamu melihat siapa?", tanya teh Putri penasaran. "E...e... itu teh", Mila menjadi gagap. "Siapa Mil? Pemuda yang memakai kemeja itu? Siapa dia?", teh Putri mulai penasaran. "Sudahlah teh, nanti saya ceritakan di tempat makan saja. Ayok teh kita lanjut", Mila beranjak pergi sambil membawa tas jinjing biru tua milik teh Putri yang tak begitu berat. Dalam perjalanannya Mila terus berpikir, kenapa ia harus bertemu lagi. Dan kenapa ia harus terus memikirkannya. Teh Putri diam selama perjalanan. Ia juga malah menjadi bingung. Sesekali ia melihati wajah Mila yang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
     Akhirnya sampailah mereka di rumah makan yang cukup luas dekat stasiun. Mereka memilih tempat di sebelah kanan ruangan itu dekat dengan jendela. Teh Putri langsung memesan makanan kepada pelayan rumah makan. Disela-sela waktu menunggu pesanan makanan datang teh Putri langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi tadi. "Mil, tadi itu siapa? Pacarmu?", sodor teh Putri tak sabar. "Bukan, bukan teh. Bahkan saya tidak mengenalnya sama sekali", jawab Mila. "Lalu kenapa kamu melihatinya Mil, sampai-sampai kamu seperti patung tadi?", teh Putri terus menggali informasi. "Begini teh. Kemarin waktu saya perjalanan pulang sehabis membeli rujak untuk teh Niar saya bertemu teman kelas saya. Dia diboncengkan motor sama seorang pemuda. Dan pemuda itu adalah pemuda yang tadi di stasiun teh. Semenjak itu teh, saya terus kepikiran, penasaran dengan pemuda itu. Tapi saya malu untuk bertanya dengan teman saya teh. Saya juga bingung teh, kenapa saya jadi begini. Ini pertama kalinya saya kepikiran orang teh. Bagaimana menurut teteh?", jelas Mila panjang lebar. "ooh, he...he..., mungkin kamu sedang jatuh cinta Mil", jawab teh Putri sembari meledek Mila. "Ah, yang benar teh. Masa aku jatuh cinta sama orang yang belum aku kenal", jawab Mila mengerutkan dahinya. "Allah maha membolak-balikan hati. Mungkin saja kamu sedang diberi rasa cinta sama Allah dengan pemuda itu. Tapi ingat Mil, jadikan rasa itu sebagai alat untuk kamu mendekatkan diri kepada Allah. Jangan malah sebaliknya", teh Putri menjawab dengan bijak.
     Suasana sekolah begitu ramai. Hari senin merupakan hari yang mungkin tak banyak siswa menyukainya, tetapi mereka tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang siswa yang teladan. Kantin adalah tempat yang tak pernah sepi diantara tempat-tempat yang lain. Banyak siwsa-siswa bermumpul di kantin tersebut. Mulai dari yang hanya sekedar makan, nongkrong-nongkrong, ada yang berdiskusi dan ada yang mampir-mampir sebentar. Mila terlihat duduk diantara mereka-mereka yang ada di kantin. Kali ini sedikit berbeda. Mila terlihat akrab dengan Rina. Mereka berdua duduk bersampingan. Mila terlihat serius di samping Rina. "Rin, aku mau menanyakan sesuatu kepadamu?", Mila membuka pembicaraan. "Tanya apa Mil?", Rina balik bertanya, dan ia terlihat serius. "Kamu masih ingat, ketika kita bertemu di jalan dan kamu diboncengkan laki-laki memakai motor? Laki-laki itu pacarmu Rin?", suara Mila sedikit bergetar ketika menanyakan hal itu. "Oh, itu kakakku Mil. Namanya Handi. Lengkapnya Muhammad Handi. Kamu salah sangka", Rina menjawab santai. "Oh, Kakakmu Rin. Maaf aku kira itu pacarmu", Mila sedikit memalu. "Iya Mil, tidak apa-apa. Di keluargaku tidak mengenal pacaran. Kamu tahu sendiri kan dalam islam tidak ada yang namanya pacaran?", jawab Rina sambil menerangkan. "Iya Rin, aku paham", Mila membalas senyum pada Rina yang terlihat santai dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Kini suasana menjadi cair. Mila dan Rina kini mulai akrab satu sama lain. Dan hal ini membuat Mila tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya lebih lanjut mengenai Handi. Namun Mila tidak mau kalau Rina sampai tahu kalau dirinya sedang penasaran dengan kakaknya itu. Ia tak mau kalau Rina menganggapnya hanya untuk memanfaatkannya saja. Ia murni untuk menambah teman. Hanya saja kali ini berbeda cerita. Pikir Mila dalam hatinya.
     Hari demi hari Mila lalui dengan syukur. Syukur atas segala yang telah diberikan kepada dirinya selama ini. Keluarga yang terbuka, saudara yang sangat perhatian padanya, dan sang ayah yang tetap bertanggung jawab meskipun harus jauh darinya. Setelah kelulusan SMA 5 tahun yang lalu kini Mila menjadi seorang penulis. Ia sangat berbakat dalam menulis semenjak sekolah dasar. Bakat itu ia dapatkan dari almarhumah ibunya. Bukan karena ibunya juga pintar menulis melainkan karena ketekunannya mengajari Mila dalam menulis. Semakin hari semakin ia merindukan bapakknya yang ada di Jogja. Ia ingin sekali berkunjung ke sana. Menikmati pemandangan Jogja adalah impian kecilnya saat ini. Ia sudah merencanakan akan menulis dengan latar belakang suasana Jogja. Pastilah hasilnya bisa memuaskan dan mungkin saja banyak sekali pembaca yang akan penasaran dengan bukunya. Maklumlah, kini banyak remaja-remaja yang ingin mampir untuk menikmati suasana Jogja yang sangat alami itu. Akhirnya Mila pun berencana untuk ke Jogja akhir bulan ini. Ketika Mila sedang asyik melamun tentang rencananya mengunjungi bapaknya di Jogja, ia teringat seseorang. Seseorang itu adalah Handi. Ia teringat ketika masih duduk di bangku SMA. Ia mengutarakan perasaannya pada Handi. Namun dengan halus Handi menolaknya. Dengan alasan ia belum siap untuk menikah, padahal Mila tidak meminta untuk dinikahi. Mila sadar bahwa dalam keluarga Handi tidak mengenal pacaran. Mereka sangat menjunjung tinggi prinsip itu. Dan Rina pun telah memberitahunya. Namun entah setan apa yang merasukinya. Ia begitu lancar ketika mengutarakan isi hatinya. Semenjak itu, ia sangat malu pada dirinya sendiri dan Rina adik Handi. Ia malu kalau-kalau Rina tahu bahwa ia menaruh hati pada Handi dan telah menyatakan perasaannya. Ia tak mau Rina salah paham. Tempat ceritanya pun hanya teh Putri. Awalnya teh putri pun kaget mendengar cerita Mila bahwa ia menyatakan perasaannya pada Handi. Ia sedikit marah pada saat itu. Namun teh Putri tetap menasihati Mila dan akhirnya Mila sadar dengan kesalahannya. Kini Mila menjadi wanita penuh prinsip. Ia tak mau menjalin hubungan tanpa status pernikahan. Kini Mila hijrah. Kini ia terlihat anggun dengan jilbab yang lebar. Senyum ramahnya yang khas selalu menyungging di bibirnya. Kini banyak sekali pemuda-pemuda yang bukan hanya ingin memacarinya. Namun banyak yang berniatan untuk mengkhitbahnya. Mila kini menjadi primadona. Namun dari sekian banyak lelaki yang datang masih saja belum ada yang pas di hatinya. Total ia menolak khitbah 3 kali. Bukan menyombong. Mila tidak ingin salah dalam mencari pasangan hidup. Ia belajar dari pengalaman-pengalaman sahabatnya. Apalagi hidup di zaman modern yang penuh fitnah seperti ini membuatnya was-was bila ia tidak berhati-hati dalam memilih pasangan.
     Akhir bulan tiba. Waktu yang Mila tunggu telah datang. Berkunjung ke Jogja. Kali ini ia menggunakan kereta. Dalam perjalanannya bibirnya basah akan dzikir-dzikir. Pikirannya kemana-mana. Ia takut bila dalam perjalanannya kali ini akan terjadi sesuatu yang tak diinginkannya. Ia bukan takut mati. Tetapi ia takut meninggalkan dunia namun belum sempat bertemu dengan bapaknya. Ia teringat ibunya. Dalam hatinya bertanya. Mengapa Allah begitu cepat mengambil ibunya dari ia dan bapaknya. Ia merasa kalau ibunya masih ada pasti ia tak akan jauh dari bapaknya. Dan bapaknya tidak akan kesepian di Jogja sendiri. Namun hatinya kembali sadar. Ia mengucap istighfar. Ini adalah pikiran setan, pikirnya. Ketentuan Allah lah yang terbaik. Pikirannya mulai teralihkan dengan datangnya pramugari yang datang melewati lorong kereta menawari makanan. Salah satu dari pramugari itu memakai jilbab. Wajahnya putih mulus dengan lipstik merah merona di bibir. Seketika Mila melihat, hatinya berbisik kalau pramugari itu cantik dan menawan. Pastilah banyak laki-laki yang menyukainya dan mungkin banyak yang mengkhitbahnya. Mila tersadar kembali. Ia mengucap istighfar. Pikiran-pikiran negatif lah yang membuat ia kurang bersyukur. Hingga pramugari kereta itu sampai di gerbong selanjutnya Mila masih beristighfar. Ia takut terhanyut dengan pikiran-pikiran yang membuatnya tak lagi bersyukur dengan apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Akhirnya Mila sampai di stasiun Tugu Jogjakarta. Ah, rasanya senang sekali bisa menghirup udara Jogja kembali setelah hampir 8 bulan ia berkecimpung dengan udara Bandung. Ia pun langsung mencari taksi untuk menuju rumahnya, dan yang pasti menemui bapaknya.
     Sesampainya di rumah ia langsung disambut oleh bapaknya. Ia memang sudah menghubungi bapaknya sebelum berangkat ke Jogja. Tak lupa ia mencium tangan bapaknya. Rasanya luar biasa sekali bisa mencium bau tubuh bapaknya. Ia langsung masuk ke dalam rumahnya. Ia melihat sekeliling dalam rumah. Tampak sama. Tidak ada yang berbeda. Kursi tua yang ada semenjak ia SD tak pernah pindah dari tempatnya. Ia langsung menuju dapur sederhana yang ukurannya hanya dua kali dua meter. Mila langsung membuat dua cangkir teh satu untuk dirinya dan satu lagi untuk bapaknya. Ia ingin melepas rindu pada ayahnya dengan suasana santai ditemani segelas teh. Baginya hal tersebut adalah yang paling ia rindukan. Mila juga berniatan untuk bercerita ini itu pada bapaknya. Dari dalam dapur Mila membawa dua cangkir teh dengan nampan hijau peninggalan ibunya yang terlihat memudar warnanya namun masih kuat untuk menopang beberapa gelas berisi air. Bapak ternyata sudah menunggu di teras. Mila pun menghampiri sambil memindahkan gelas ke meja kecil tepat di antara dua kursi depan teras. "Pak, ini tehnya. Ayok diminum. Kangen tho, sama teh buatan Mila?", Mila sedikit meledek bapaknya. "Kamu ini nduk, masih seperti dulu. Suka percaya diri", bapak menimpal dengan cepat. "Bagus tho pak. Itu juga yang membuat Mila bisa seperti ini", Mila mulai percaya diri. "Iya nduk, kamu benar. Tapi ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik", jawab bapak sambil menasihati. "Alhamdulillah pak, Mila insyaAllah bisa jaga. Doakan saja agar Mila bisa tetap rendah hati", Mila melempar senyum kepada bapaknya. "Oya, seminggu yang lalu Pipit teman SDmu menikah nduk. Kamu kapan menyusul?", tiba-tiba bapak melempar pertanyaan yang membuat hati Mila berdegub kencang. Ia kaget dan tergagap seketika. Selang beberapa menit Mila mulai membuka mulutnya. "Yang namanya rezeki, jodoh di tangan Allah pak. Bapak ndak usah khawatir. InsyaAllah nanti ada waktunya pak", Mila menjawab dengan tenang. "Iya nduk, tapi jangan lupa ikhtiar. Bapak ini sudah tua. Tidak mungkin bapak selalu menitipkan kamu pada teh Niar", jawab bapak sambil meniup tehnya. Baru kali ini ia merasakan kesepian bapaknya. Belum pernah bapaknya mengajak berdiskusi dengan seserius itu. Mila merasa kasihan tetapi ia juga merasa takut. Selama ini ia selalu menolak khitbahan dari orang, namun di sisi lain bapaknya begitu menginginkan dirinya untuk menikah.
     Sudah tiga hari Mila berada di Jogja. Ia seperti kembali mengenang masa kecilnya. Tiga hari menikmati udara pagi Jogja baginya adalah sebuah terapi bagi dirinya. Terapi untuk otaknya yang ia gunakan untuk mencari ide untuk menulis. Tiba-tiba ia menemukan ide di teras depan. Ia langsung mengambil leptop kesayangannya. Langsung dibukanya. Dia mengetik sesuatu. Satu jam berlalu tiba-tiba handphonenya berdering tanda sms masuk. Itu dari teh Putri. "Assalamu'alaikum warahmatullah, Mil bagaimana kabarmu dan bapakmu. Semoga kalian selalu diberikan rahmat oleh Allah SWT. Mil semalam Teh Niar menyampaikan sesuatu padaku. Dua hari yang lalu ada tamu datang ke rumah. Namanya Rizky. Katanya dia menanyakan apakah kamu sudah ada yang mengkhitbah atau belum. Dia berniatan mengkhitbahmu Mil. Teh Niar menyuruhku menyampaikan hal ini padamu. InsyaAllah 2 hari lagi dia akan datang ke rumah bertepatan kamu pulang. Wassalamu'alaikum", seketika Mila meneteskan air mata. Ia langsung terpikir oleh kata-kata ayahnya yang menyuruhnya untuk berikhtiar mencari jodoh. Mungkinkah ini semua jawaban atas keinginan ayahnya. Sungguh Allah maha besar. Namun sekelebat pikiran mampir di otaknya. Siapa itu Rizky? Rasanya ia tak pernah mengenal orang yang bernama Rizky. Setahunya orang yang ia kenal bernama Rizky adalah teman SMPnya. Namun apakah mungkin ia adalah Rizky yang dipikirkannya. Mila terus memutar otaknya. Mencoba mengingat apakah ada orang lain yang bernama Rizky yang pernah ia kenal. Lalu siapa dia? Mila terus melamun. Tiba-tiba bapaknya menepuk punggungnya dari belakang. Mila terkaget. Bapaknya heran. "Bapak ini mengagetkan", ucap Mila seketika. "Kamu kaget nduk. Masih pagi kok sudah melamun tho?", Bapak terheran dan langsung menempatkan diri di kursi sebelahnya. "Ini pak, teh Putri sms Mila. Katanya dua hari yang lalu ada orang bertamu namanya Rizky. Dia berniatan mengkhitbah Mila pak. Dua hari lagi dia akan datang ke rumah teh Niar untuk menanyakan hal tersebut sama Mila pak", Mila tak berpikir panjang untuk menceritakan apa yang menjadi bahan lamunannya tadi. "MasyaAllah, benar nduk? Allah memang maha penyayang. Allah telah mengabulkan doa bapak. Lebih baik kamu bersiap-siap mengemasi barang-barangmu. Besok pagi kamu pulanglah ke Bandung", bapaknya begitu semangat sampai nada suaranya hampir meninggi dan membuat orang lain bisa mendengarnya. "Bapak ini, jadwal pulang Mila kan masih 2 hari lagi pak", Mila memprotes jawaban bapaknya. "Nduk, yang namanya jodoh itu harus di ikhtiarkan. Jangan membantah. Bersiaplah kamu di sana. Mungkin saja dia adalah jodohmu. Bapak akan mendoakan kamu dari sini", jawab bapak dengan pelan kali ini. "Kalau bapak bahagia insyaAllah Mila bahagia pak. InsyaAllah besok Mila akan pulang ke Badung", Mila tak bisa mengelak. Ia tak sanggup melihat semangat bapaknya patah hanya karena ia tak ingin cepat pulang.
     Mila mencium tangan bapaknya. Ia meminta izin meninggalkan Jogja. Sebenarnya Mila belum ingin pulang ke Bandung. Ia masih ingin merasakan suasana Jogja. Baru saja ia mendapatkan ide menulis tetapi harus ia tinggalkan terlebih dahulu. Iya sadar bahwa ada hal yang lebih penting bukan hanya bagi dirinya namun bagi bapaknya juga. Mila mulai membalikkan badannya dan meninggalkan bapaknya yang berdiri diantara keramaian stasiun. Tubuh tuanya membuat Mila tak tega meninggalkannya sendiri. Mila meneteskan air mata. Entah kenapa kali ini ia sangat tak ingin berpisah dengan bapaknya. Ia jadi teringat pesan bapaknya. "Jagalah diri kamu Nduk, bapak akan selalu mendoakan kamu", Mila terngiang akan kata-kata itu. Akhirnya Mila mulai memasuki gerbong kereta. Ia masih saja melihat keluar melalui jendela dan matanya mencari-cari bapaknya. Tak lama kemudian kereta berjalan dengan padunya. Tak lupa Mila memanjatkan doa.
    Sampailah Mila di stasiun Bandung. Syukur Alhamdulillah ia mengucap dalam hati. Mila pun langsung menuju rumah teh Niar. Dalam perjalanannya ia terus memikirkan tentang rencana khitbahannya. Rizky nama yang selalu di otaknya. Ia sangat penasaran. Ketika sampai di depan rumah ia mencoba menenangkan diri. Jangan sampai teh Niar dan teh Putri melihat kegugupannya. Pikirnya saat itu. Tiba-tiba suami teh Niar keluar dari rumah dan melihat Mila berdiri di depan pintu. "Loh Mila, kamu sudah pulang? Bukannya rencananya besok Mil?", A Didi langsung menyodori pertanyaan. "I...iya A, rencananya besok, tapi ada hal yang harus Mila urus di sini. Jadi Mila pulang lebih awal", jawab Mila gugup. Mila sedikit malu untuk mengakui kalau sebenarnya ia pulang untuk mengurus rencana khitbah yang di tanyakan oleh Rizky. Entah A Didi mengetahuinya atau tidak. Tetapi Mila yakin kalau A Didi sudah mengetahuinya. A Didi pun mengangkat barang yang dibawa oleh Mila masuk ke dalam rumah. Mila mengikuti dari belakang. Ternyata teh Niar dan teh Putri sudah duduk di ruang keluarga. Mila langsung menghampiri mereka. Dan mencium tangan mereka sebagai tanda hormat. "Loh Mil, kok sudah pulang?", tanya teh Niar. "Iya teh, besok kan hari libur jadi takut kehabisan tiket. Sekalian ada hal yang harus Mila bicarakan dengan teh Niar", Mila mencoba bermain alasan. Ia langsung duduk di sebelah teh Niar. "Oya, Mil, teteh mau bebicara sesuatu sama kamu. Tapi sebelumnya teh Niar minta kamu yang tabah", teh Niar langsung memulai pembicaraan serius. "Dua hari yang lalu, ada laki-laki datang ke rumah. Namanya Rizky, lengkapnya Muhammad Rizky. Ia menyampaikan amanah pada teteh kalau ia ingin mengkhitbahmu. Kemudian teteh minta Putri untuk menyampaikan kepada kamu. Teteh tahu dia orangnya baik. Kebetulan Putri satu kantor dengan Rizky. Tapi Rizky tahu kamu bukan dari Putri. Dia tahu dari saudaranya. Namanya Handi. Katanya dia mengenalmu dengan baik Mil. Teteh senang sekali ada laki-laki yang berniat baik ingin mengkhitbahmu. Tapi baru tadi pagi teteh mendapat kabar. Katanya ketika Rizky menuju tempat kerjanya, dia kecelakaan. Dan dia meninggal di tempat Mil. Maafkan teteh Mil harus menyampaikan hal ini", jelas panjang lebar teh Niar pada Mila. "Innalillahi wainilihi rajiun...", Mila langsung meneteskan air matanya. Kenapa semua ini harus terjadi. Padahal ia sudah memikirkan tentang khitbahan yang di ajukan oleh Rizky. Pikirannya buyar. Mila tak bisa berkata apa-apa. Ia diam seribu bahasa. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Air matanya mengalir pelan di pipinya. Teh Niar, teh Putri, dan A Didi hanya diam. Teh Niar langsung merangkul Mila setelahnya. Tangis Mila mulai terdengar. "Kenapa teh, disaat Mila merasa sudah siap Allah merencanakan ini semua. Apa ini akibat Mila yang menolak khitbahan sebelumnya?", Mila sesenggukan. "Istighfar Mil. Ini rencana Allah. Tidak ada hubungannya dengan yang lalu", teh Niar mencoba menenangkan Mila. "Benar Mil, jangan pernah menyalahkan takdir. Ini semua ketentuan Allah", lanjut teh Putri. "Benar Mil, apa kata teh Niar dan Putri tadi. Kamu harus tabah. Sekarang sebaiknya kita bersiap untuk takziyah", A Didi menambahi.
     Sampailah mereka di rumah almarhum Rizky. Banyak orang di sana. Ada yang sedang mempersiapkan peralatan untuk pemakaman, dan ada yang menhibur keluarga yang berduka dengan dukungan moril. A Didi di depan dan masuk terlebih dahulu. Setelah itu Ibu ibunda Rizky keluar. A Didi yang berada di samping ibunda Rizky langsung menyampaikan bahwa Mila adalah perempuan yang akan di khitbah oleh Rizky. Ibunya tak kuasa mengenang itu. Ia langsung menuju Mila. Mila mencium tangan ibunda Rizky. Ia langsung dirangkul oleh ibunda Rizky. "Do'akan almarhum nak, agar segala amalnya diterima oleh Allah", tangis ibunda Rizky pecah di pelukan Mila. "Ibu yang tabah. InsyaAllah Rizky orang yang baik bu", Mila mencoba memberi semangat pada ibu Rizky. Setelah takziyah selesai akhirnya Mila dan rombongan pamit undur diri. Dalam perjalanan pulang, Mila masih terharu. Entah kenapa ia begitu sedih. Padahal ia belum pernah bertemu dengan sosok almarhum Rizky. Ia jadi teringat kalau teh Putri adalah teman sekantornya. Ia langsung meminta teh Putri untuk menunjukan siapa itu Rizky. Ketika teh Putri menunjukan foto Rizky, ia kaget. Rizky adalah orang yang pernah membantunya dulu ketika ia pernah kecelakaan. Ia begitu sedih. Namun dalam hatinya tetap bertasbih pada Allah. Ini ketentuan-Nya.
     6 bulan semenjak Rizky meninggal Mila hidup dengan penuh pasrah. Ia tak hanya memikirkan dirinya namun juga bapaknya. Ia jadi teringat dengan semangat bapaknya ketika mendengar Mila akan di khitbah oleh Rizky. Kini Mila terus menekuni kegiatan menulisnya. Ia selalu berdoa agar keluarga di bandung dan di Jogja selalu diberikan kesehatan oleh Allah.
     Mila tengah bercanda dengan teh Putri dan sepupu kecilnya Hanna yang merupakan anak dari teh Niar dan A Didi. Ia seperti tak mau lagi larut dengan kedukaan. Ia bangkit dan mencoba menatap masa depan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Mila yang sedang duduk langsung beranjak dan merapikan jilbabnya. Terdegar salam dari luar. Mila menjawabnya sambil membuka pintu. "Wa'alaikumussalam...", Mila kaget dengan siapa yang ditemuinya di depan pintu. Ternyata Handi. Mila langsung menundukan pandangannya. "Ma...maaf mau mencari siapa?", Mila bertanya dengan gugup. "A Didinya ada?", Handi menjawab lebih tenang. Namun hatinya berdegub kencang. Ini adalah pertemuan yang begitu menguras pikiran baginya. Hatinya berdesir melihat Mila. Namun ia langsung menundukan kepalanya. "Ada. Silahkan masuk. Saya akan panggilkan A Didi", Mila mempersilakan Handi masuk. Ia langsung menuju ke dalam dan mencari keberadaan A Didi. "A, ada Handi saudaranya almarhum Rizky di ruang tamu. Katanya dia mencari A Didi", jelas Mila. "Ooh Handi", jawab A Didi singkat dan langsung menuju ruang tamu. Mila langsung menuju ke dapur untuk membuat minuman. "Assalamu'alaikum A Didi", begitu melihat A Didi keluar, Handi langsung beranjak dari tempat duduknya. Handi tak lupa bersalaman dengan A Didi. "Wa'alaikumussalam, Bagaimana kabarmu Han?", A Didi langsung bertanya dan mengisyaratkan tangan agar Handi duduk kembali. "Alhamdulillah bikhoir A. Bagaimana A Didi dan keluarga?" Jawab Handi. "Alhamdulillah sehat semua. Tumben ini kamu bertamu", jawab A didi. "Saya langsung saja A, karena saya rasa hal ini memang harus segera saya sampaikan. Sebelumnya mohon maaf kalau saya terkesan tergesa-gesa. Dulu ketika A Didi sempat ingin mengenalkan saya dengan Mila sebenarnya saya sudah ada niatan untuk mengkhitbah Mila. Tetapi saya mempunyai sepupu yang menurut saya lebih pantas untuk bersanding dengan Mila, yaitu almarhum Rizky. Namun Allah mempunyai rencana lain. Sperti yang A Didi juga tahu. Beliau harus menghadap Allah mendahului kita. Selama kurang lebih 5 bulan ini saya memikirkan hal ini A. Saya berniat untuk mengkhitbah Mila. Apakah Mila belum ada yang mengkhitbah A?", Handi menjelaskan dengan detil. "MasyaAllah, jadi kamu berniatan mengkhitbah Mila Han? Dulu ketika kamu mengantar Rizky untuk mengkhitbah Mila sebenarnya ada sedikit rasa kecewa dalam hati saya. Kenapa bukan kamu. Tapi saya percaya kalau Rizky adalah orang yang baik akhlknya. Dan sekarang kamu sudah siap sepertinya. Mila belum ada yang mengkhitbah Han. Tetapi saya tidak bisa menjawab boleh atau tidaknya. Tetap Mila yang harus menjawabnya langsung", jawab A Didi dengan bijak. Dari balik korden Mila mendengar semua pembicaraan. Jantungnya berdegup kencang. Orang yang dulu dicintainya dan menolaknya karena ia ajak pacaran malah sekarang ingin mengkhitbahnya. Ia tak percaya. Sampai-sampai ia lupa keluar untuk memberikan minuman untuk A Didi dan Handi. Seketika ia sadar dan keluar dari balik korden. Handi melihat Mila dengan keringat keluar dari jidatnya. Tiba-tiba A Didi menyuruh Mila agar ia duduk di sebelahnya. "Duduklah di sini Mil, ada yang harus ditanyakan padamu", jelas A Didi. Mila menurut dan langsung menempatkan diri. "A Didi langsung saja Mil. Handi kesini karena ada niatan untuk mengkhitbahmu. Kira-kira kapan kamu siap untuk menjawabnya Mil?", A Didi begitu cepat menerangkan niatan Handi. Mila merasa bahwa ini adalah hal yang membuatnya harus berpikir keras. Ia tahu Handi adalah lelaki yang sholeh. Tak ada alasan untuk tidak menerimanya. Tapi Mila takut salah. Namun Mila memantapkan hatinya untuk menjawab. Ia menarik napas panjang dan mengucap bismillah. Ia yakin hal yang baik juga harus disegerakan. "InsyaAllah saya siap untuk dikhitbah oleh A Handi", Mila begitu tegas dalam menjawab. Handi langsung mengusap muka dengan telapak tangannya sebagai tanda syukur sekaligus lega dengan jawaban Mila. A Didi tersenyum bahagi. "Alhamdulillah, A Didi juga sebenarnya setuju kalau kamu dengan Handi. Karena A Didi tahu bagaimana Handi. Dia lelaki yang sholeh InsyaAllah", jelas A Didi lega. "Jadi A Didi dan A Handi sudah saling mengenal?", tanya Mila penasaran. "Alhamdulillah Mil, kami satu majelis", A Didi menjawab dengan senyuman mengarah ke Handi.
    Akhirnya setelah acara khitbah, 2 bulan kemudian Mila dan Handi mengadakan pernikahan. Mereka tak menyangka akan dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan. Mila begitu bersyukur dengan semua apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ia juga sangat bahagia melihat bapaknya bisa tersenyum lebar di pesta pelaminannya. Sungguh luarbiasa nikmat Allah yang diberikan kepada umatnya. Begitu perasaan Mila.
( selesai ).

Assalamu'alaikum warahmatullah...
Cerpen ini saya buat di sela-sela kegiatan kuliah. Dan saya sangat berharap setelah pembaca membaca cerpen di atas bukan hanya hiburan yang didapat tetapi juga ada nilai moral maupun moril yang bisa diambil dari cerpen tersebut. Semoga cerpen di atas bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Mohon maaf bila ada kata-kata dalam cerpen tersebut yang kurang berkenan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan penulis. 😁
Wassalamu'alaikum warahmatullah...

Fb 👉 Sintiya DY
Ig 👉 sintiyadwi
Twitter 👉 @sintiyady