Senin, 02 April 2018

Ulasan Gadis Beralis Tebal Bermata Cemerlang

Gadis dan Rahasia

Sebuah tulisan yang tak banyak orang berniat menulisnya. Namun, begitu indah dan syahdu untuk dibaca. Gadis kecil penuh rahasia yang memiliki alis tebal dan tatapan cemerlang menarik perhatian. Melalui tokoh aku, semua terasa menjadi penasaran. Mengapa dan kenapa tokoh aku tertarik pada gadis itu.

Hingga pada suatu ketika, tokoh aku menuju sebuah rumah kenalannya. Di situlah ia menemukan apa yang menjadi rahasia gadis kecil itu. Terbayang dan menerawang siapa gadis itu melalui istri temannya, Sahlan.

Sahlan, tak ada yang istimewa yang digambarkan darinya. Hanya penyampai keistimewaan istrinya. Mengharukan namun begitu melenakan. Senyuman yang mewakili perkataan dan perasaan. Iya. Itulah jawaban dari hati. Di mana Mustofa Bisri menceritakan bagaimana sebuah kemurnian hati. Hati mencurahkan seluruh yang dirasakan oleh pemiliknya.

Istri Sahlan, begitu menawan. Senyumnya bak jawaban dari segala pertanyaan. Sendu dan bersuara merdu. Tak banyak yang dikeluarkan dari mulutnya. Namun hatinya berkata semua.

Awalnya tokoh aku tak merasakan apa-apa. Hingga akhirnya ia teringat akan gadis ketika ia menaiki kereta. Ya. Gadis bermata cemerlang. Tatapannya membekas di hati. Dan membuat dirinya bertanya di hati.

Wajahnya terus memandangi tokoh aku. Begitu Indah Mustofa mengarang. Dengan kalimat sederhana dan riang.

Rabu, 27 Desember 2017

UAS SBM Kelas 3D PBSI TA 2017/2018

Bapak Andi, saya Sintiya Dwi Yuniati, NPM 16410158, kelas 3D PBSI. Berikut ini saya lampirkan hasil pekerjaan UAS SBM. Silakan klik link di bawah ini untuk melihat.
Media Pembelajaran (UAS SBM)

Selasa, 26 Desember 2017

Curahan Ingatan Masa Lalu

Sekelebat masa kecil di depan rumah
     Sore itu aku berada di halaman depan rumahku yang tak begitu luas. Dalam suasana pedesaan yang kuanggap masih asri, aku menyapu dedaunan kuning, coklat dari pohon rambutan yang terlihat tak lagi segar di musim buahnya. Tepat di depan rumahku, Mama dan Bapa membuat sebuah kebun kecil, mencoba untuk memanfaatkan lahan terbatas. Cabai, kunyit, terong, dan dua pohon pepaya yang sudah mulai berbuah tumbuh subur di tanah itu. Di sekeliling kebun terbatas tersebut, Mama menambahi dengan bunga-bunga hiasan yang menarik untuk menyegarkan mata. Ia rajin sekali menyirami tanaman kesayangannya itu.
     Ada sebuah hal yang mengusik batinku kala itu. Ketika aku menyapu tepat di atas tanah kebun terbatas, aku selalu melihat kelereng disana-sini. Ingatanku mulai membuka. Dahulu, di masa kecilku, kelereng adalah benda yang berharga. Bila aku tak mampu membelinya, aku harus berusaha mencarinya di tempat-tempat tertentu, seperti tempat pembuangan sampah untuk aku jadikan mainan bersama teman-teman. Entah mengapa harus di tempat itu. Namun tak dipungkiri, aku banyak menemukan kelereng di tempat itu.
     Dari pandangan yang tak sengaja menemukan kelereng, aku pun tak lepas melihat sebuah benda yang tak luput dari ingatan masa kecilku. Paku atau besi berkarat yang terdapat banyak di kebunku. Ya, benda itu. Benda tersebut sangat mengingatkanku pada perjuangan ketika masih kecil untuk mendapatkan uang jajan sendiri. Dahulu, aku dan gerombolan teman sepermainanku meluangkan waktu di sore hari atau pagi hari ketika libur sekolah untuk mencari paku atau besi bekas untuk aku jual kepada pengepul atau yang aku sebut tukang rongsok. Nilai tertinggi yang pernah aku dapatkan adalah Rp 12.000 dari besi yang aku kumpulkan. Itu pun dibagi dua dengan temanku yang sepakat untuk mengumpulkan bersama. Uang Rp 6.000 sangatlah berharga di zamanku, ketika aku masih sekolah dasar.
     Dari cerita singkat tadi aku merasakan suatu kemirisan ketika melihat dua benda tersebut. Kini rasanya benda-benda itu tak ada harganya dan tak ternilai, sedangkan dulu bagiku, hal itu sangat berharga. Aku hanya menatap diam benda itu. Tak aku sentuh sedikitpun dengan fisikku. Tapi kalbu ini tersentuh akan ingatan masa kecilku.

Jumat, 22 Desember 2017

Cerpen akhir tahun

Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Semarang

                               BIRU

     Alunan lagu melow terus mendengung di telinga. Tangga nada lagu terus menari-nari di atas kepalanya sedang pulpen hitam terus dimainkan di genggaman tangan. Kali ini otaknya tak bisa diajak berimajiniasi untuk menyuarakan apapun. Bahkan, lantunan musik kesukaan yang didengar tak bisa membantu dirinya menuliskan satupun huruf di atas kertas yang berada tepat di depannya. Hari itu seperti bukan hari miliknya. Lirik matanya mulai berpindah ke arah laptop putih yang masih tertutup. Tanpa pikir panjang, perempuan bernama Shofia ini langsung meletakkan pulpen dan melepas headset dari telinganya. Diambilah leptop itu dan langsung dibuka. Jari jemari yang lentik langsung menelusuri keyboard laptop. Perempuan berumur 22 tahun yang tengah menempuh kuliah di jurusan Sastra Indonesia ini seperti mendapat ide seketika itu. Kata demi kata lancar terketik dari jarinya. Namun, baru delapan kalimat terancang, jarinya menekan tombol delete. Semua kalimat langsung terhapus di layar leptop. Sofhia langsung menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan sedikit hentakan. Dengan kedua tangan masih berada di atas meja, ia menghela nafas panjang.
     Lima menit berlalu dan Shofia masih terdiam. Tak berapa lama sebuah pemberitahuan email muncul dan mengalihkan pikiran Shofia. Perempuan penyuka bunga mawar itu langsung membuka email tersebut. "Jangan lupa! Tanggal 5 Desember ada event pertemuan penulis seluruh Indonesia di Palembang. Kalau kamu bisa datang, pasti sungguh luar biasa. Bukan hanya pengalaman saja yang kamu bisa dapatkan dari para penulis hebat di sini. Kakak akan menepati janji, mengajak keliling kamu di tempat yang Kakak anggap bagus untuk menciptakan imajinasi dalam menulis. Kakak tunggu ya!", tulis sebuah email masuk dari Yonif. Bibir tipis Shofia mulai memperlihatkan senyum kecil. Raut wajahnya berubah kemerahan. Ia tak menyangka akan mendapatkan email dari Yonif Efendi teman yang baru dikenalnya 1 tahun yang lalu. Shofia mengenal Yonif di salah satu seminar kepenulisan di Yogyakarta. Kala itu, mereka sama-sama menjadi peserta seminar. Yonif yang berasal dari Palembang begitu mempesona hati Shofia sejak pertama kali bertemu. Lelaki berkulit sawo matang dengan pawakan yang tinggi dan mata sedikit sipit, telah mengambil sebagian perhatian perempuan dengan hobi menulis ini. Namun selama perkenalannya, Shofia tak berpikir mengungkapkan sedikitpun mengenai perasannya.
     Udara pagi Yogyakarta memang tak bisa diragukan kemurniannya. Pepohonan dengan daun hijau yang mengguggurkan daun kekuningannya menambah dramatis pagi itu. Secangkir kopi susu dengan bekas minum di pinggirannya terlihat masih mengepulkan asap. Semerbak harum kopi menelusuri indra penciuman Shofia. Sesekali ia menyeruput kopinya sembari membaca sebuah novel Api Tauhid karya Habiburahman El-Sirazy. Novel yang didapatnya melalui pameran buku yang didatanginya di daerah Sleman dua bulan yang lalu. Dan manisnya, ia baru bisa membacanya pagi itu karena kesibukan kuliah. Bukan hanya karena kesibukan yang menjadikan Shofia baru membaca novel mahsyur itu. Novel bergenre romantis religi bukanlah tipe bacaannya. Ia lebih minat dengan Novel bergenre fantasi. Baginya buku-buku beraroma romantis hanya membuat cengeng sedangkan buku fantasi dapat membuat imajinasinya semakin terasah. Namun, sejak pertemuannya dengan Yonif, minatnya mulai bergeser. Ia merelakan pikiran kolotnya yang hanya mau membaca novel fantasi tergerus demi membaca karya yang juga dibaca oleh seorang yang ia kagumi.
     Detak jarum jam terus menggema di telinga gadis berkulit putih itu. Rasanya minggu-minggu ini adalah minggu-minggu dimana Shofia kerap memperhitungkan waktu. Detik, menit, jam, bahkan hari selalu dirasakannya dengan sepenuh hati. Tepat tiga hari menuju event pertemuan penulis se-Indonesia di Palembang, ia tampak gelisah. Pikirannya tak tenang. Tak dapat terbayangkan bila ia dapat berjumpa secara langsung dengan para penulis hebat. Para penulis yang selalu memuntahkan ide jenius. Yang muntahannya bisa dimakan oleh siapapun dengan naluri, imajinasi, dan kreasi. Dan bonus dari semua itu adalah bertemu dengan orang yang ia kagumi. Yonif Efendi. Lelaki berdarah asli Sumatera Selatan yang begitu memikat hati Shofia selama ini. Lelaki sederhana dengan lesung di pipi kanannya, seakan membius segala persepsi lelaki di hati Arumi. Semua berubah karena satu lelaki itu.
     Tanggal 5 Desember. Shofia panik dengan semua yang ada di sampingnya. Sesekali mengecek barang bawaan. Namun terus diulangnya sampai teman kos yang melihatnya geram gemas. "Kau mau ke bandara atau terminal, Rum? Lihatlah jam, sudah pukul berapa ini! Jangan kau cek terus barang-barangmu!", jelas Tata dengan logat Malukunya. Lantas Shofia langsung melihat jam tangannya. Matanya membelalak sadar akan waktu yang telah ia buang. "Ta! Antarkan aku ke bandara sekarang pakai motorku!", lugas Shofia pada temannya sedikit teriak. "Aku belum mandi", sahut Tata. "Cepatlah, aku bisa terlambat", panik Shofia. Tata yang masih menyelempangkan handuk mandinya di bahu langsung melempar handuk tersebut ke dalam kamar.
     Dalam perjalanan, Shofia terus menepuk-nepuk bahu Tata memerintahkan agar mempercepat laju motornya. Mereka seakan maling yang tengah dikejar warga. Pikiran Shofia buyar. Ia khawatir tak bisa mengejar waktu untuk sampai di bandara dan tertinggal pesawat. Namun, sesekali Shofia juga membayangkan ketika nanti bertemu lelaki yang dikaguminya di bandara. Yonif memang telah berjanji akan menjemput kedatangan Shofia di bandara.
     Semua manusia dengan jenis sepatu, baju, rambut, serta gaya berjalan, berlarian ke sana ke mari. Semua badan berpencar mencari tujuan dan kesibukannya masing-masing. Beberapa keluarga melepas rindu dengan haru, beberapa orang keluar tanpa penunggu. Manusia berseragam terlihat sangat sibuk dengan bagiannya masing-masing. Ada yang sibuk memfoto diri dengan asyiknya, dengan wibawa seragam ekspresi itu dapat terbaca.
     Shofia masih saja sibuk dengan barang bawaan yang terlihat malah merepotkan dirinya. Lambaian tangan lentik milik gadis itu mencoba memberi salam terakhir pada sahabat yang baik hati rela mengantar dirinya ke bandara. Bingung, gelisah, dan resah. Perasaan pertama kali menaiki pesawat sungguh mengguncang pengalaman Shofia. Rasa katrok yang hanya dimiliki mahasiswa sekelas Shofia. Ah, aku pun manusia biasa dengan sedikit nyali, pikir Arumi mencoba menenanangkan dirinya.
     Kelas ekonomi sekelas pesawat bagi Shofia adalah hal yang luar biasa. Deg-degan pun tak terelakan. Matanya terus mengelilingi keadaan dalam pesawat. Sesekali melihat pramugari cantik dengan pakaian rapi menempel di tubuh. Ingatannya mulai membuka ketika dahulu seorang guru menanya cita-cita dirinya. Pramugari adalah jawaban Shofia. Entah tulus dari hati atau hanya sekadar ilusi, ia menjawab pertanyaan tadi. Kalau saja ia merealisasikan cita-cita ketika itu, mungkin sekarang bukanlah kali pertama ia menaiki burung besi. Entahlah, Tuhan berkata lain.
     Sedikit kebingungan Shofia memasuki bandara. Ke sana ke mari ia terus bertanya. Sesekali ia mengikuti penumpang lain untuk menuju pintu keluar. Berhentilah Shofia di sebuah bangku panjang yang ada di dalam bandara. Ia mengambil teleponnya mencoba mengecek apakah Yonif menghubungi dirinya. Benar saja, baru ia membuka kata sandi teleponnya sebuah pesan muncul. "Hari ini begitu cerah. Karenanya aku memakai baju biru langit. Aku ada di belakangmu", tulis pesan tersebut. Shofia kaget dan langsung menoleh ke arah belakang. Namun, ia tak melihat Yonif. Beberapa yang melewatinya memakai baju biru langit, tetapi Shofia yakin tidak ada satu pun seorang Yonif yang ia kenal.
     Hela nafas keluh terlihat pada Shofia. Ia seakan takut yang dibarengi rasa kecewa. Matanya terus mencari baju biru langit itu. Tiba-tiba dari arah samping seorang laki-laki menyapanya. "Shofia?", sapa laki-laki yang ternyata Yonif. "Kak Yonif?", sambut Shofia lega dengan senyum mengembang di bibirnya. Senyum bahagia itu seketika mengerucut melihat tangan lelaki yang dikaguminya menggandeng tangan seorang perempuan di belakangnya. Perempuan berjilbab yang juga mengenakan baju biru laut. Mata Shofia memandang sendu di antara mereka berdua. Rasa ingin bertanyanya terkalahkan dengan rasa takutnya akan jawaban dari Yonif. "Perkenalkan, Shof. Namanya Nur Annisa. Dia istri saya. Kami menikah 2 bulan yang lalu", jelas Yonif. Shofia kesal tapi tak bisa mencurahkan. Shofia marah namun tak bisa membuka amarah. Shofia kecewa namun tak bisa apa-apa.

Selesai

Cerpen ini ditulis sebagai salah satu wujud bahwa sebuah ide muncul dari berbagai sumber. Nama-nama dalam cerpen di atas diambil dari nama-nama teman instagram yang tentunya sungguh luar biasa. Penulisan ini semata-mata sebagai motivasi agar penulis semangat dalam menuangkan ide. Mohon maaf apabila nama yang tercantum kurang berkenan, silakan menghubungi penulis agar dapat menggantinya segera. Jazakumullahu khairan. Terima kasih telah membaca 😊

Jumat, 24 November 2017

UTS_PBSI_3D

Klik di sini untuk melihat media pembelajaran mengenai pendidikan karakter kaitannya dengan implementasi dalam menggunakan sosial media