Minggu, 25 Juni 2017

New mini Cerpen

Tangis
By: Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Semarang

     Tepat dihari kemerdekaan, di mana kebanyakan orang merayakan dengan penuh suka cita, tanda bahagia. Semua larut dengan warna-warni air dalam plastik es yang digantung di ranting-ranting pohon. Kecuali rumah Renita seorang mahasiswa hukum dan adiknya Fika. Polos tak berhias dan tak tercium bau kebahagiaan. Rasanya, tak bergairah hari itu Renita maupun adiknya, Fika untuk beranjak menghias rumah seperti tahun-tahun biasanya. Rasa tak bergairah itu, semakin berlanjut kala pagi menjelang. Renita yang akrab dipanggil Reni dan Fika tengah mempersiapkan sarapan pagi bersama mamahnya. Reni yang lebih dekat dengan mamahnya, merasakan ada sesuatu yang aneh pada mamahnya. Ia tak melihat sosok ceria dan penuh tawa yang selalu menghiasi lingkar wajah mamahnya. Ingin sekali ia menanyakan apa gerangan yang terjadi, namun kata itu tak sampai di mulutnya. Suasana rumah kini berbeda. Seakan-akan semua orang, baik Reni, Fika, maupun Mamah Yuli merasakan hal yang sama. Fika yang biasanya ceria tak nyaman dengan keadaan itu. Ia berhenti sejenak dari pekerjaannya mengelap meja makan, matanya melirik ke arah luar melewati jendela dengan dua daun jendela yang terbuka. "Tahun ini tak seperti tahun-tahun biasanya. Kita selalu jalan-jalan dan bersenang-senang. Tapi, kenapa hari ini tidak ada rencana keluar, dan bahkan sepi seperti ini", ucap Fika tiba-tiba dengan wajah datar yang masih mengarahkan dirinya ke arah jendela. Entah apa yang dipikirkan Fika kala itu. Dengan polosnya, kata-kata itu keluar lancar dari tenggorokannya. Mamah Yuli dan Reni langsung menghentikan aktivitasnya saat itu pula. Pandangan mengarah ke arah Fika. Entah mengapa, mamah Yuli langsung bergegas pergi menuju ke kamarnya. Suasana semakin hening, tak ada suara sedikitpun. Fika masih menatap ke arah jendela dan sang kakak, Reni menatapi mamahnya mengikuti langkahnya pergi sampai pintu kamar tertutup rapat.
     Reni sebagai kakak merasa tak punya daya. Ia merasa kali ini dirinya tak dapat berbuat apa-apa. Badannya kaku seperti ada yang mengikat tubuhnya, mulutnya membisu seperti ada yang menyumpal mulutnya. Namun, dalam hatinya berteriaklah ia sekeras-kerasnya. Ada apa hari ini? Kenapa dengan keluarga ini? Tanyanya keras dalam hati.
     Hampir 7 menit ruangan itu seperti rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya. Sayup-sayup terdengar bunyi terompet dan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan anak-anak tentangga dengan polosnya. Cuaca di luar yang panas tak mempengaruhi keadaan. Semua bersikap dingin, diam satu sama lain. Dari beberapa menit berdirinya, dengan pelan, Fika menjatuhkan badannya di atas sebuah kursi yang tepat berada di belakangnya. Wajahnya tak berpaling, seakan ada sesuatu yang membuatnya tertarik dengan keadaan di luar lewat jendela itu. Tatapannya kosong, namun air mata meleleh dari mata ovalnya itu. Perempuan SMA itu seperti tak sadar akan tangisnya.
     Tatapan Reni teralihkan dengan gerakan Fika. Ia menatap ke arah adiknya. Fika menyadari adiknya menangis. Ia tak menghampiri Fika, karena ia tahu hatinya tak sekuat adiknya. Namun, tak kuat hati melihat adik kandungnya menangis sendiri, dengan cepat Reni berlari menghampiri Fika dan langsung memeluk adiknya dari belakang. Air mata mereka berdua beradu seakan-akan mereka berlomba-lomba untuk mengeluarkan air mata yang merupakan kesedihan itu. "Maafkan Kakak, Fik. Kakak tak bisa sekuat kamu. Berdo'alah agar hal ini tak terjadi pada kita kelak", jelas Reni dengan tangisnya yang semakin memecah. "Kita tak boleh seperti ini, Kak", jawab Fika singkat sembari menguatkan pelukannya pada sang kakak.
     Tak lama setelah menenangkan adiknya, terpikir oleh Reni akan sang mamah. Tak ada tanda-tanda mamahnya akan keluar dari kamar, membuat hatinya mengarahkan perhatian ke kamar itu. Dengan pelan Reni melepaskan pelukan dari adiknya. Dengan langkah pelan ia menuju kamar mamahnya. Tepat delapan langkah Reni menginjakan kakiknya di depan daun pintu, tak terdengar suara dari dalam kamar. Reni mengetuk pintu kamar dengan tiga kali ketukan yang lemah. Matanya menuju ke arah gagang pintu, seakan menunggu gagang tersebut bergerak ke bawah tanda dibukakan pintu oleh sang mamah. Satu menit ia terdiam tanpa sepatah kata pun. Akhirnya ia menggerakan tangannya ke arah gagang pintu, dan langsung membuka pintu itu. Sadar tak terkunci, ia langsung membukanya. Matanya langsung berkeliling mencari keberadaan mamahnya. Di depan jendela kamar, ia mendapati mamahnya tergeletak dengan darah mengalir dari pergelangan tangannya. Matanya membelalak, tak percaya apa yang dilihatnya. "Mamaaah...", dengan sekuat tenaga ia menghampiri mamahnya sembari berteriak diiringi tangis. Reni tersungkur, mencoba membangunkan mamahnya. Dari tangan mamahnya ia mendapati kertas yang terlihat masih basah tintanya. Fika yang sedari tadi duduk terdiam langsung menuju ke arah kamar. Dari daun pintu, matanya langsung menemukan tubuh sang mamah yang tergeletak. Air matanya langsung tumpah tak terbendung.
     Malam kini hening, senyap, dan tak bersahabat. "Mamah telah tenang menyusul Papah. Tinggal kita, Kak", ucap Fika dengan wajah penuh haru sembari memeluk foto keluarga. Di depannya, sang kakak, Reni menangis tersedu-sedu tak kuat menahan rasa sedih yang tengah menimpa dirinya. Ia tak menjawab ataupun menimpal balik perkataan adiknya, hanya tangisan yang kian menguat seakan mewakili jawaban hatinya.
     Ayah Reni dan Fika yang biasa dipanggilnya ayah meninggal satu tahun yang lalu. Ayahnya meninggal akibat serangan jantung mendadak, setelah melihat dengan mata kepala sendiri istrinya yang tak lain merupakan mamah Yuli selingkuh dengan rekan kerjanya. Kejadian itu tepat di hari kemerdekaan dan hal tersebut disaksikan pula oleh Reni dan Fika. Setelah kejadian itu, Reni dan Fika hampir tak pernah menegur mamahnya. Mereka seperti tak terima ayah yang mereka sayangi meninggal akibat perselingkuhan mamahnya sendiri. Bahkan Fika, sempat tak menganggap mamahnya itu sebagai mamah kandungnya. Selama itu pun mamah Yuli menjadi seorang yang pendiam dan penyendiri. Ia merasa hidupnya tak lagi berarti. Bahkan ia merasa jijik dengan dirinya.
     Tangis Reni mulai mengecil. Ia menjadi teringat kertas berisi tulisan yang terakhir dipegang sang mamah. Reni menuju sebuah lemari dan membuka laci kecil yang ada di dalamnya. Langsung ia mengambil kertas itu dan membacanya sembari menempatkan diri di sebelah sang adik. "teruntuk anak-anakku tersayang, Reni dan Fika. Aku tahu aku bukanlah mamah yang baik untuk kalian. Bahkan rasanya tak pantas bila aku dipanggil mamah. Aku malu, aku malu pada diri ini yang sudah merenggut kebahagiaan kalian, yang sudah membuat kalian tersiksa dengan keadaan yang ada. Reni, mamah tahu kau anak yang kuat. Jagalah adikmu, Fika. Untuk Fika, jadilah anak yang pintar. Maafkan mamah nak. Mamah sayang kalian. Salam terakhir dari Mamah", tangis Reni muali pecah. Kertas itu ia berikan pada Fika, dan langsung ia membacanya. Reni dan Fika berpelukan erat. Tangis mereka bersautan satu sama lain. Kertas itu adalah surat terakhir dari sang mamah.

Puisi Kenangan

Lampau
By: Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Srmarang

Di ujung daun  pintu ini diriku menerka gelap
Mencari cahaya diantara samar pandangan
Titik-titik cahaya berpendar dari jauh
Tak adakah satu yang mampu kuraih
Untukmu, untuknya, atau untukku

Kiri kanan tak ada beda rupa suasana
Dedaunan hijau berubah gelap mengikuti malam
Menutupi sorot cahaya yang mencoba menerobos barisan
Membentuk lingkaran kecil tak tahu asal

kini hitam putih menggelayut dipelupuk
Suara abstrak manusia mengiringi hening malam
Adakah masih seperti lampau
Ketika semua tubuh kecil berlarian mencari tubuh kecil lainnya
Adakah masih seperti lampau
Ketika ada rumah rumah kecil dari terpal seadanya dengan rangka bambunya yang sederhana

Tergerus sudah masa penuh dengan tawa canda
Melalui alur waktu, hilang hanya tinggal tulisan pena dan kenangan tak berbicara
Mungkinkah akan kembali dan terulangi