Jumat, 22 Desember 2017

Cerpen akhir tahun

Sintiya Dwi Yuniati
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas PGRI Semarang

                               BIRU

     Alunan lagu melow terus mendengung di telinga. Tangga nada lagu terus menari-nari di atas kepalanya sedang pulpen hitam terus dimainkan di genggaman tangan. Kali ini otaknya tak bisa diajak berimajiniasi untuk menyuarakan apapun. Bahkan, lantunan musik kesukaan yang didengar tak bisa membantu dirinya menuliskan satupun huruf di atas kertas yang berada tepat di depannya. Hari itu seperti bukan hari miliknya. Lirik matanya mulai berpindah ke arah laptop putih yang masih tertutup. Tanpa pikir panjang, perempuan bernama Shofia ini langsung meletakkan pulpen dan melepas headset dari telinganya. Diambilah leptop itu dan langsung dibuka. Jari jemari yang lentik langsung menelusuri keyboard laptop. Perempuan berumur 22 tahun yang tengah menempuh kuliah di jurusan Sastra Indonesia ini seperti mendapat ide seketika itu. Kata demi kata lancar terketik dari jarinya. Namun, baru delapan kalimat terancang, jarinya menekan tombol delete. Semua kalimat langsung terhapus di layar leptop. Sofhia langsung menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan sedikit hentakan. Dengan kedua tangan masih berada di atas meja, ia menghela nafas panjang.
     Lima menit berlalu dan Shofia masih terdiam. Tak berapa lama sebuah pemberitahuan email muncul dan mengalihkan pikiran Shofia. Perempuan penyuka bunga mawar itu langsung membuka email tersebut. "Jangan lupa! Tanggal 5 Desember ada event pertemuan penulis seluruh Indonesia di Palembang. Kalau kamu bisa datang, pasti sungguh luar biasa. Bukan hanya pengalaman saja yang kamu bisa dapatkan dari para penulis hebat di sini. Kakak akan menepati janji, mengajak keliling kamu di tempat yang Kakak anggap bagus untuk menciptakan imajinasi dalam menulis. Kakak tunggu ya!", tulis sebuah email masuk dari Yonif. Bibir tipis Shofia mulai memperlihatkan senyum kecil. Raut wajahnya berubah kemerahan. Ia tak menyangka akan mendapatkan email dari Yonif Efendi teman yang baru dikenalnya 1 tahun yang lalu. Shofia mengenal Yonif di salah satu seminar kepenulisan di Yogyakarta. Kala itu, mereka sama-sama menjadi peserta seminar. Yonif yang berasal dari Palembang begitu mempesona hati Shofia sejak pertama kali bertemu. Lelaki berkulit sawo matang dengan pawakan yang tinggi dan mata sedikit sipit, telah mengambil sebagian perhatian perempuan dengan hobi menulis ini. Namun selama perkenalannya, Shofia tak berpikir mengungkapkan sedikitpun mengenai perasannya.
     Udara pagi Yogyakarta memang tak bisa diragukan kemurniannya. Pepohonan dengan daun hijau yang mengguggurkan daun kekuningannya menambah dramatis pagi itu. Secangkir kopi susu dengan bekas minum di pinggirannya terlihat masih mengepulkan asap. Semerbak harum kopi menelusuri indra penciuman Shofia. Sesekali ia menyeruput kopinya sembari membaca sebuah novel Api Tauhid karya Habiburahman El-Sirazy. Novel yang didapatnya melalui pameran buku yang didatanginya di daerah Sleman dua bulan yang lalu. Dan manisnya, ia baru bisa membacanya pagi itu karena kesibukan kuliah. Bukan hanya karena kesibukan yang menjadikan Shofia baru membaca novel mahsyur itu. Novel bergenre romantis religi bukanlah tipe bacaannya. Ia lebih minat dengan Novel bergenre fantasi. Baginya buku-buku beraroma romantis hanya membuat cengeng sedangkan buku fantasi dapat membuat imajinasinya semakin terasah. Namun, sejak pertemuannya dengan Yonif, minatnya mulai bergeser. Ia merelakan pikiran kolotnya yang hanya mau membaca novel fantasi tergerus demi membaca karya yang juga dibaca oleh seorang yang ia kagumi.
     Detak jarum jam terus menggema di telinga gadis berkulit putih itu. Rasanya minggu-minggu ini adalah minggu-minggu dimana Shofia kerap memperhitungkan waktu. Detik, menit, jam, bahkan hari selalu dirasakannya dengan sepenuh hati. Tepat tiga hari menuju event pertemuan penulis se-Indonesia di Palembang, ia tampak gelisah. Pikirannya tak tenang. Tak dapat terbayangkan bila ia dapat berjumpa secara langsung dengan para penulis hebat. Para penulis yang selalu memuntahkan ide jenius. Yang muntahannya bisa dimakan oleh siapapun dengan naluri, imajinasi, dan kreasi. Dan bonus dari semua itu adalah bertemu dengan orang yang ia kagumi. Yonif Efendi. Lelaki berdarah asli Sumatera Selatan yang begitu memikat hati Shofia selama ini. Lelaki sederhana dengan lesung di pipi kanannya, seakan membius segala persepsi lelaki di hati Arumi. Semua berubah karena satu lelaki itu.
     Tanggal 5 Desember. Shofia panik dengan semua yang ada di sampingnya. Sesekali mengecek barang bawaan. Namun terus diulangnya sampai teman kos yang melihatnya geram gemas. "Kau mau ke bandara atau terminal, Rum? Lihatlah jam, sudah pukul berapa ini! Jangan kau cek terus barang-barangmu!", jelas Tata dengan logat Malukunya. Lantas Shofia langsung melihat jam tangannya. Matanya membelalak sadar akan waktu yang telah ia buang. "Ta! Antarkan aku ke bandara sekarang pakai motorku!", lugas Shofia pada temannya sedikit teriak. "Aku belum mandi", sahut Tata. "Cepatlah, aku bisa terlambat", panik Shofia. Tata yang masih menyelempangkan handuk mandinya di bahu langsung melempar handuk tersebut ke dalam kamar.
     Dalam perjalanan, Shofia terus menepuk-nepuk bahu Tata memerintahkan agar mempercepat laju motornya. Mereka seakan maling yang tengah dikejar warga. Pikiran Shofia buyar. Ia khawatir tak bisa mengejar waktu untuk sampai di bandara dan tertinggal pesawat. Namun, sesekali Shofia juga membayangkan ketika nanti bertemu lelaki yang dikaguminya di bandara. Yonif memang telah berjanji akan menjemput kedatangan Shofia di bandara.
     Semua manusia dengan jenis sepatu, baju, rambut, serta gaya berjalan, berlarian ke sana ke mari. Semua badan berpencar mencari tujuan dan kesibukannya masing-masing. Beberapa keluarga melepas rindu dengan haru, beberapa orang keluar tanpa penunggu. Manusia berseragam terlihat sangat sibuk dengan bagiannya masing-masing. Ada yang sibuk memfoto diri dengan asyiknya, dengan wibawa seragam ekspresi itu dapat terbaca.
     Shofia masih saja sibuk dengan barang bawaan yang terlihat malah merepotkan dirinya. Lambaian tangan lentik milik gadis itu mencoba memberi salam terakhir pada sahabat yang baik hati rela mengantar dirinya ke bandara. Bingung, gelisah, dan resah. Perasaan pertama kali menaiki pesawat sungguh mengguncang pengalaman Shofia. Rasa katrok yang hanya dimiliki mahasiswa sekelas Shofia. Ah, aku pun manusia biasa dengan sedikit nyali, pikir Arumi mencoba menenanangkan dirinya.
     Kelas ekonomi sekelas pesawat bagi Shofia adalah hal yang luar biasa. Deg-degan pun tak terelakan. Matanya terus mengelilingi keadaan dalam pesawat. Sesekali melihat pramugari cantik dengan pakaian rapi menempel di tubuh. Ingatannya mulai membuka ketika dahulu seorang guru menanya cita-cita dirinya. Pramugari adalah jawaban Shofia. Entah tulus dari hati atau hanya sekadar ilusi, ia menjawab pertanyaan tadi. Kalau saja ia merealisasikan cita-cita ketika itu, mungkin sekarang bukanlah kali pertama ia menaiki burung besi. Entahlah, Tuhan berkata lain.
     Sedikit kebingungan Shofia memasuki bandara. Ke sana ke mari ia terus bertanya. Sesekali ia mengikuti penumpang lain untuk menuju pintu keluar. Berhentilah Shofia di sebuah bangku panjang yang ada di dalam bandara. Ia mengambil teleponnya mencoba mengecek apakah Yonif menghubungi dirinya. Benar saja, baru ia membuka kata sandi teleponnya sebuah pesan muncul. "Hari ini begitu cerah. Karenanya aku memakai baju biru langit. Aku ada di belakangmu", tulis pesan tersebut. Shofia kaget dan langsung menoleh ke arah belakang. Namun, ia tak melihat Yonif. Beberapa yang melewatinya memakai baju biru langit, tetapi Shofia yakin tidak ada satu pun seorang Yonif yang ia kenal.
     Hela nafas keluh terlihat pada Shofia. Ia seakan takut yang dibarengi rasa kecewa. Matanya terus mencari baju biru langit itu. Tiba-tiba dari arah samping seorang laki-laki menyapanya. "Shofia?", sapa laki-laki yang ternyata Yonif. "Kak Yonif?", sambut Shofia lega dengan senyum mengembang di bibirnya. Senyum bahagia itu seketika mengerucut melihat tangan lelaki yang dikaguminya menggandeng tangan seorang perempuan di belakangnya. Perempuan berjilbab yang juga mengenakan baju biru laut. Mata Shofia memandang sendu di antara mereka berdua. Rasa ingin bertanyanya terkalahkan dengan rasa takutnya akan jawaban dari Yonif. "Perkenalkan, Shof. Namanya Nur Annisa. Dia istri saya. Kami menikah 2 bulan yang lalu", jelas Yonif. Shofia kesal tapi tak bisa mencurahkan. Shofia marah namun tak bisa membuka amarah. Shofia kecewa namun tak bisa apa-apa.

Selesai

Cerpen ini ditulis sebagai salah satu wujud bahwa sebuah ide muncul dari berbagai sumber. Nama-nama dalam cerpen di atas diambil dari nama-nama teman instagram yang tentunya sungguh luar biasa. Penulisan ini semata-mata sebagai motivasi agar penulis semangat dalam menuangkan ide. Mohon maaf apabila nama yang tercantum kurang berkenan, silakan menghubungi penulis agar dapat menggantinya segera. Jazakumullahu khairan. Terima kasih telah membaca 😊

1 komentar:

  1. Kyaaaa Nur Annisa 😲
    Kaget bacanya, wkwk
    Lanjutkan berkarya sin-chan ^^
    Baarakallaahu fiikum 💕

    BalasHapus