Selasa, 26 Desember 2017

Curahan Ingatan Masa Lalu

Sekelebat masa kecil di depan rumah
     Sore itu aku berada di halaman depan rumahku yang tak begitu luas. Dalam suasana pedesaan yang kuanggap masih asri, aku menyapu dedaunan kuning, coklat dari pohon rambutan yang terlihat tak lagi segar di musim buahnya. Tepat di depan rumahku, Mama dan Bapa membuat sebuah kebun kecil, mencoba untuk memanfaatkan lahan terbatas. Cabai, kunyit, terong, dan dua pohon pepaya yang sudah mulai berbuah tumbuh subur di tanah itu. Di sekeliling kebun terbatas tersebut, Mama menambahi dengan bunga-bunga hiasan yang menarik untuk menyegarkan mata. Ia rajin sekali menyirami tanaman kesayangannya itu.
     Ada sebuah hal yang mengusik batinku kala itu. Ketika aku menyapu tepat di atas tanah kebun terbatas, aku selalu melihat kelereng disana-sini. Ingatanku mulai membuka. Dahulu, di masa kecilku, kelereng adalah benda yang berharga. Bila aku tak mampu membelinya, aku harus berusaha mencarinya di tempat-tempat tertentu, seperti tempat pembuangan sampah untuk aku jadikan mainan bersama teman-teman. Entah mengapa harus di tempat itu. Namun tak dipungkiri, aku banyak menemukan kelereng di tempat itu.
     Dari pandangan yang tak sengaja menemukan kelereng, aku pun tak lepas melihat sebuah benda yang tak luput dari ingatan masa kecilku. Paku atau besi berkarat yang terdapat banyak di kebunku. Ya, benda itu. Benda tersebut sangat mengingatkanku pada perjuangan ketika masih kecil untuk mendapatkan uang jajan sendiri. Dahulu, aku dan gerombolan teman sepermainanku meluangkan waktu di sore hari atau pagi hari ketika libur sekolah untuk mencari paku atau besi bekas untuk aku jual kepada pengepul atau yang aku sebut tukang rongsok. Nilai tertinggi yang pernah aku dapatkan adalah Rp 12.000 dari besi yang aku kumpulkan. Itu pun dibagi dua dengan temanku yang sepakat untuk mengumpulkan bersama. Uang Rp 6.000 sangatlah berharga di zamanku, ketika aku masih sekolah dasar.
     Dari cerita singkat tadi aku merasakan suatu kemirisan ketika melihat dua benda tersebut. Kini rasanya benda-benda itu tak ada harganya dan tak ternilai, sedangkan dulu bagiku, hal itu sangat berharga. Aku hanya menatap diam benda itu. Tak aku sentuh sedikitpun dengan fisikku. Tapi kalbu ini tersentuh akan ingatan masa kecilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar