Selasa, 25 April 2017

Semangat Chairil Anwar sebagai Binatang Jalang

Semangat Chairil Anwar sebagai             Binatang Jalang

     Karya sastra Chairil Anwar merupakan salah satu karya sastra yang paling sering digunakan dalam dunia kesastraan baik sebagai bahan pembahasan di lingkup sastrawan-sastrawan masa kini maupun dalam bidang akademis. Tak dipungkiri bahwa karya sastra milik sastrawan angkatan 45 ini turut membangun pikiran-pikiran yang cerdas dalam masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Chairil Anwar adalah orang yang hidup dalam perjuangan. Tak heran karya sastranya banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya.
     Dalam salah satu karya satra puisinya berjudul Semangat yang kemudian diubah menjadi Aku yang ditulisnya pada Maret 1943, Chairil Anwar begitu lugas dan tegas dalam mencurahkan isi hatinya melalui puisi tersebut. Namun pada zamannya, banyak orang yang tidak suka dan menolak adanya puisi Aku. Mereka menganggap puisi Aku tak sejalan dengan puisi pada masanya. Kata aku ini binatang jalang juga menjadi salah satu bahan perdebatan yang dianggap frontal. Bahkan seorang yang sezaman dengan Chairil Anwar yaitu Bung Usman sampai menulis tulisan dengan judul “Hendak Jadi Orang Besar?” dalam menanggapi puisi Aku. Hal itu menunjukan Usman yang kesal dengan vitalitas dan cara hidup baru yang ditunjukan Chairil dalam puisinya. Dilihat dari strukturnya puisi aku termasuk ke dalam jenis puisi lama yang merupakan karya sastra pendobrak karya sastra puisi lain pada masanya yang kala itu masih menggunakan bahasa mendayu-dayu. Sedangkan puisi Aku dalam penggunaan bahasa lebih bebas dan lugas.
     Dalam syair puisi Aku yang ditulisnya yaitu : Kalau sampai waktuku/ kumau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau// tak perlu sedu sedan itu// aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang// biar peluru menembus kulitku/ aku tetap meradang menerjang// luka dan bisa kubawa berlari-lari/ hingga hilang pedih peri// dan aku akan lebih tidak peduli/ aku mau hidup seribu tahun lagi, menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain meskipun banyak rintangan yang ia hadapi.
     Chairil merupakan seorang yang individualis yang bebas dan berani. Hal tersebut terlihat dari karya esai dan puisi yang dibuatnya. Salah satunya dalam puisi Aku. Kemungkinan tersebut dikuatkan dengan adanya pendapat dari seorang lulusan sarjana sastra Indonesia asal Timor Timur, yaitu AG Hadzarmawit Netti. Ia mengatakan bahwa "Judul Aku menekankan individualistis seorang Anwar". Netti sendiri menganalisis bahwa puisi Aku mencerminkan kebutuhan Chairil Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak dibentuk kekuatan luar. Dan dalam penggalan bait terakhir puisi Aku, Netti menerangkan bahwa Chairil Anwar bangga akan keindividualistisnya yang tergambar dari sajak terakhir puisi tersebut.
     Dalam keindividualistisnya, Chairil Anwar nampaknya tak hanya individualistis hanya dalam pribadi semata. Namun ia ingin menyampaikan bahwa bangsa Indonesia ingin bebas, tak ingin lagi tertindas, dan ingin lepas dari semua bentuk penjajahan Jepang. Kala puisi Aku meroket, keadaan masyarakat Indonesia memanglah menyedihkan. Mereka hidup miskin, di bawah jajahan Jepang.
     Chairil Anwar memanglah sastrawan pembangun jiwa, rasa, dan daya. Tak seorang pun menduga bahwa puisi Aku akan menjadi salah satu titik pemikiran bagi masyarakat agar hidup lebih bebas tanpa kendali penjajah. Meski harus ditangkap oleh penjajah Jepang karena puisinya yang dianggap tak sejalan dengan pemerintah Jepang dan membangkang pada saat itu. Namun Chairil Anwar tetap dengan tegasnya menyuarakan kebebasan dan semangat kemerdekaan.
     Ada banyak hal yang dapat kita pelajari melalui puisi Aku milik Chairil Anwar ini. Dengan menghayatinya kita dapat merasakan bagaimana perjuangan mereka-mereka yang hidup di zaman awal kemerdekaan yang idenya begitu dikekang, suaranya dibungkam, dan hatinya dirajam. Singkatnya sajak puisi Aku tak sesingkat rasa yang sampai sekarang masih bisa di hayati dari generasi ke genarasi. Mereka memang tak mengalami. Paling tidak, sebagai bangsa yang besar, mereka masih bisa menghargai jasa pahlawannya tak terkecuali sastrawan-sastrawan seperti Chairil Anwar yang ikut dalam membentuk pemikiran cerdas bangsa Indonesia memalui sajaknya.
     Semoga masih banyak sastrawan-sastrawan masa kini yang ikut melanjutkan perjuangan sastrawan awal kemerdekaan seperti Chairil Anwar dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan kecerdasan, kegigihan, dan semangat. Karena penjajah masa kini tak lagi menyerang fisik melainkan pemikiran. Maka mulailah suarakan hatimu layaknya puisi Aku yang tak lekang oleh waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar